“Kepahitan Seperempat Abad”
Lagu Half of Fame dari The Script mematangkan perenungan ini. perenungan tentang kepayahan dan kesakitan yang kualami saat menginjak usia 22 tahun. Ini bukan bilangan kecil lagi, ini bilangan yang menuntut banyak hal. Aku jadi ingin cerita betapa menyakitkan usia-usia 20-an ini. Usia saat kita dituntut untuk tahu kemana sebenarnya kapal kita akan berlayar. Usia saat kita benar-benar harus mengenali diri sendiri dengan baik.
Ada banyak keraguan yang harus segera dipastikan pada usia ini, dan lebih menyakitkannya lagi, aku tidak cukup mengenal dirku sendiri, seperti ihwal apa yang aku suka dan apa yang sebenarnya aku inginkan. Kadangkala semua ini membuatku menyesal terhadap waktu yang banyak sekali aku sia-siakan, aku belum mencoba banyak hal dan aku banyak membuang kesempatan.
Hingga akhirnya, seusai berdebat dengan diri sendiri dan mempertimbangkan banyak hal, aku memilh sebuah jalan. Sederhananya aku ingin jadi manusia yang bermanfaat, namun untuk mencapai itu kita menempuh jalan sesuai minat dan bakat kita. Seorang dokter misalnya, bermanfaat melalui kemampuannya mendeteksi penyakit dan mengobatinya, seorang guru bermanfaat melalui kemampuannya mengajar dlsb. Lantas aku, aku ingin bermanfaat melalui cara apa dan cara yang bagaimana itu yang masih sangat aku pikirkan.
Bagaimana bisa di usia ini aku masih belum bisa mengukur bakat yang ada dalam diriku sendiri, bagaimana bisa di usia ini aku belum mengerti apa yang aku sukai, tapi memang begitu nyatanya. Semua kemampuanku kupikir hanya ditaraf rata-rata, dan ini menjadi pekerjaan rumah terbesar yang aku miliki untuk menemukan apa yang sebenarnya menjadi minatku.
Aku tidak tahu apakah kekonyolan ini juga dialami oleh orang lain, tapi inilah usia 22 tahun, usia yang akrab dengan banyak pertanyaan. Kemana kamu akan pergi, kamu ingin hidup seperti apa, kamu akan bagaimana, dan apa yang ingin kamu lakukan.
Selain itu, usia ini juga rentan dengan perbandingan. Tidak bisa dipungkiri naluri kita kerap kali membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain, baik dari pencapaiaannya atau dari tahap-tahap kehidupannya. Kita kerap kali menjadikan hidup orang lain sebagai parameter bahwa kita juga harus hidup seperti mereka dengan waktu yang bersamaan, padahal itu adalah hal yang tidak mungkin terjadi. Kita berawal dari garis yang berbeda dengan tujuan yang berbeda pula, lantas kenapa harus memaksa dan menyikiti diri sendiri seperti itu. Oleh karena itu, membandingkan diri sendiri dengan orang lain membuat kita tidak menghargai upaya keras yang kita lakukan sendiri. kita hanya terus menerus mengutuk diri agar memiliki pencapaian yang sama dengan yang lain.
Begitulah usia seperempat abad ini, pikiran kita menjadi lebih matang sehingga banyak menekan kita untuk berubah dan perlahan meninggalkan zona ternyaman kita. Ya dengan memperbanyak kesalahan dan memperbanyak percobaan. Semua bermula dari sebuah tanya “apa yang ingin kamu lakukan?”
Apapun itu, semoga kita tetap waras menghadapi kejutan-kejutan lain yang bertahap tingkat kepahitannya. Semoga kita tetap sehat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam diri kita sendiri.