Kehilangan
Kesempatan
Beberapa
hari yang lalu saat mengendarai angkutan kota saya dirujuk pada sebuah diskusi
lirih ibu-ibu di sebelah saya, mereka membual obrolan selama rentang laju
kendaraan kami. Banyak hal yang mereka
bahas, dari mulai harga telur yang meroket,
jadwal dan honor pekerjaan yang mereka tampa hingga membahas mengenai tumbuh kembang anak mereka. Awalnya tak saya dengarkan dengan baik obrolan ini tapi
karena diskusi mulai seru, saya ikut mencuri dengar di sisi mereka.
Obrolan
itu menarik bagi saya karena saya cukup sering pula mengamati obyek yang tengah
mereka kicaukan. Ya, mereka menyayangkan laku putra dan putri mereka perihal gadget atau yang secara lebih hormat
kita sebut gawai. Ibu-ibu ini mengeluhkan sikap dan sifat anak yang cenderung
berubah. Maklum para ibu memang haruslah menjadi sosok pertama yang mengetahui
perubahan sekecil apapun pada anaknya.
Serba-serbi
keluh mereka mulai memanas, Mereka mengaku anak-anak mereka susah diberi
pengertian apalagi perihal penggunaan ponsel. Anak-anak kadang bisa menghabiskan
waktu seharian penuh hanya untuk berkutat pada gawai, entah untuk game maupun media sosial. Bukan apa-apa
tapi hanya diminta belajar pun anak mereka ogah-ogahan dan yang lebih parah
mereka justru membantah orang tua.
Saya
tak ingin membandingkan pada zaman saya karena pada dasarnya semua telah
berbeda dan berubah, jadi percuma saya bandingkan. Tapi melihat laku-laku putra
putri yang katanya penerus bangsa ini bertingkah semacam ini kan ya bikin geregetan juga jadinya. Bahkan di masa kecil
saya, saya baru mendapat nikmat ponsel tanpa kamera saat usia beranjak 15
tahun. Itu pun masih gelagapan memakainya. Awalnya memang candu maklum hape
baru tapi setelah seminggu semua jadi ya sama saja.
Namun
ada fakta yang lebih mencengangkan dari sekadar susah diberi pengertian, yaitu
kehilangannya mereka terhadap kesempatan-kesempatan
yang tidak akan datang dua kali dalam hidup mereka. Kesempatan ini masih umum, kalau versi saya
yang sok tahu ini kesempatan itu adalah masa kanak-kanak, masa bermain, masa
menuntaskan segala atribut kebahagiaan yang tidak saya dapat di usia sekarang ini.
Masa belajar berlari, main seharian dan dimarahi, masa penuh permainan,
masa penuh luka karena memanjat pohon atau jatuh saat berlari, masa yang bisa
dikenang , masa yang begitu menyenangkan. Sedangkan kesempatan yang lebih bijak
adalah kesempatan berkarya. Di era-era canggih dan serba ada ini akan sangat
rugi jika sarana dan berbagai kemudahannya tidak dimanfaatkan dengan baik.
Seperti jika hobi melukis, sekarang
peralatan dan tempat mencari referensi sudah terbentang luas. Tinggal kemauannya
saja.
Kesempatan
yang berikutnya adalah kesempatan melatih cara berkomunikasi, anak yang banyak
main gawai seharian penuh akan kehilangan kesempatannya berinteraksi dengan
orang disekitarnya , seperti kepada keluarga mereka, saudara-saudara mereka
bahkan teman sebaya di lingungkan rumahnya. Waktu yang seharusnya biss
digunakan untuk mengobrol , bermain atau bercerita terserap habis oleh kekuatan
magnet ponsel yang candunya minta ampun.
Anak-anak yang seharusnya saat lebaran bersua, mengobrol, bermain dengan
saudara jauhnya justru diam saja dan berkutat ke ponsel lagi dan lagi, mereka
menjadi tidak kenal apalagi akrab pada saudara-saudara mereka.
Saya
hendak menyangkal bahwa tulisan ini terkesan menyalahkan anak-anak atau
anak-anak jaman sekarang, saya juga tak cukup berani merangkai kalimat motivasi
dan trik-trik khusus sebagai solusi karena sebenarnya sejak dalam proses
pembacaan dikau pembaca terhormat sudah piawai menganalisis masalah, dan tentu
solusi-solusinya juga akan menyertai dalam benak kalian.
Saya
juga tak bermaksud menyalahkan orang tua karena pada dasarnya mereka juga sadar
tentang dampak-dampak ini dan itu, mereka justru lebih piawai. Saya hanya
berbagi pengalaman dan pemikiran kecil ini.
Namun
dari masalah ini saya menemu kebahagiaan kecil yang saya dengar dari kecap
seorang Ayah di lingkungan kerja saya, dia bilang begini “Saya belum mau membelikan gawai untuk anak
saya, karena semua itu bisa merusak interaksi yang seharusnya bisa mereka
bangun, saya takut mereka kehilangan
interaksi-interaksi yang seharusnya mereka alami di usia mereka.”
*Tulisan ringan yang diketik saat kompetisi
panas bola sepak