Rabu, 15 Agustus 2018


Kehilangan Kesempatan

Beberapa hari yang lalu saat mengendarai angkutan kota saya dirujuk pada sebuah diskusi lirih ibu-ibu di sebelah saya, mereka membual obrolan selama rentang laju kendaraan kami.  Banyak hal yang mereka bahas, dari mulai harga telur yang meroket,  jadwal dan honor pekerjaan yang mereka tampa hingga membahas mengenai tumbuh kembang anak mereka. Awalnya tak  saya dengarkan dengan baik obrolan ini tapi karena diskusi mulai seru, saya ikut mencuri dengar di sisi mereka.

Obrolan itu menarik bagi saya karena saya cukup sering pula mengamati obyek yang tengah mereka kicaukan. Ya, mereka menyayangkan laku putra dan putri mereka perihal gadget atau yang secara lebih hormat kita sebut gawai. Ibu-ibu ini mengeluhkan sikap dan sifat anak yang cenderung berubah. Maklum para ibu memang haruslah menjadi sosok pertama yang mengetahui perubahan sekecil apapun pada anaknya.

Serba-serbi keluh mereka mulai memanas, Mereka mengaku anak-anak mereka susah diberi pengertian apalagi perihal penggunaan ponsel. Anak-anak kadang bisa menghabiskan waktu seharian penuh hanya untuk berkutat pada gawai, entah untuk game maupun media sosial. Bukan apa-apa tapi hanya diminta belajar pun anak mereka ogah-ogahan dan yang lebih parah mereka justru membantah orang tua.

Saya tak ingin membandingkan pada zaman saya karena pada dasarnya semua telah berbeda dan berubah, jadi percuma saya bandingkan. Tapi melihat laku-laku putra putri yang katanya penerus bangsa ini bertingkah semacam ini kan ya bikin  geregetan juga jadinya. Bahkan di masa kecil saya, saya baru mendapat nikmat ponsel tanpa kamera saat usia beranjak 15 tahun. Itu pun masih gelagapan memakainya. Awalnya memang candu maklum hape baru tapi setelah seminggu semua jadi ya sama saja.

Namun ada fakta yang lebih mencengangkan dari sekadar susah diberi pengertian, yaitu kehilangannya  mereka terhadap kesempatan-kesempatan yang tidak akan datang dua kali dalam hidup mereka.  Kesempatan ini masih umum, kalau versi saya yang sok tahu ini kesempatan itu adalah masa kanak-kanak, masa bermain, masa menuntaskan segala atribut kebahagiaan yang tidak saya dapat di usia  sekarang ini.  Masa belajar berlari, main seharian dan dimarahi, masa penuh permainan, masa penuh luka karena memanjat pohon atau jatuh saat berlari, masa yang bisa dikenang , masa yang begitu menyenangkan. Sedangkan kesempatan yang lebih bijak adalah kesempatan berkarya. Di era-era canggih dan serba ada ini akan sangat rugi jika sarana dan berbagai kemudahannya tidak dimanfaatkan dengan baik. Seperti jika hobi melukis,  sekarang peralatan dan tempat mencari referensi sudah terbentang luas. Tinggal kemauannya saja.

Kesempatan yang berikutnya adalah kesempatan melatih cara berkomunikasi, anak yang banyak main gawai seharian penuh akan kehilangan kesempatannya berinteraksi dengan orang disekitarnya , seperti kepada keluarga mereka, saudara-saudara mereka bahkan teman sebaya di lingungkan rumahnya. Waktu yang seharusnya biss digunakan untuk mengobrol , bermain atau bercerita terserap habis oleh kekuatan magnet ponsel yang candunya minta ampun.  Anak-anak yang seharusnya saat lebaran bersua, mengobrol, bermain dengan saudara jauhnya justru diam saja dan berkutat ke ponsel lagi dan lagi, mereka menjadi tidak kenal apalagi akrab pada saudara-saudara mereka.

Saya hendak menyangkal bahwa tulisan ini terkesan menyalahkan anak-anak atau anak-anak jaman sekarang, saya juga tak cukup berani merangkai kalimat motivasi dan trik-trik khusus sebagai solusi karena sebenarnya sejak dalam proses pembacaan dikau pembaca terhormat sudah piawai menganalisis masalah, dan tentu solusi-solusinya juga akan menyertai dalam benak kalian.

Saya juga tak bermaksud menyalahkan orang tua karena pada dasarnya mereka juga sadar tentang dampak-dampak ini dan itu, mereka justru lebih piawai. Saya hanya berbagi pengalaman dan pemikiran kecil ini.

Namun dari masalah ini saya menemu kebahagiaan kecil yang saya dengar dari kecap seorang Ayah di lingkungan kerja saya, dia bilang begini  “Saya belum mau membelikan gawai untuk anak saya, karena semua itu bisa merusak interaksi yang seharusnya bisa mereka bangun, saya  takut mereka kehilangan interaksi-interaksi yang seharusnya mereka alami di usia mereka.”

*Tulisan ringan yang diketik saat kompetisi panas bola sepak





Tidak ada komentar:

Posting Komentar