Sembilan Belas
(Sumber foto : Phinemo.com)
Chandra
menyebutnya 19, tak tahu jelmaan angka ini melekat dalam tarik napas Chandra,
pada rona 19 ia terheran-heran pada kerak-kerak laku yang mulai sangsi ia pahami. Baik dalam
nuraninya , orang di sekitarnya atau bahkan petikan-petikan peristiwa yang
hilir mudik menjelma.
Dalam
desir pasir pantai yang terkoyak ombak, atau suara gemericik yang menghantam
kerasnya bebatuan yang kini jadi kandang ia merenung, ia menerawang semua laku
kehidupannya. sejak 30 menit lalu ia menghadap surya yang paling beberapa jam
lagi angslup meredup, kepongahan, kenestapaan, kepedihan, kebahagiaan,
kecerobohan, kepanikan dan banyak hal bergemuruh di benak, tak kalah nyaring
suaranya dari raja lautan. Tapi sungguh, ia sedang menjadi Chandra yang
pendiam.
Bibirnya
terkunci rapat-rapat, kau bisa lihat matanya begitu hangat dan setengah
terpejam ,lalu jika ingatannya menembus palung tersakit atau paling memalukan
ia menunduk, bergerimislah sore itu dari mata sendunya. Aku tak bisa berbuat
apa-apa selain menyaksikan dengan nanar.
Lalu
jika sudah sedikit sembuh ia gali lagi ingatannya ia mendongkak dan mencium
angin, menghadap lautan, kau bisa melihat sebagian rambutnya tergurai lemas
dalam ikatan dan sebagian lagi,terutama pada haluan dahi, rambut itu ikut bernapas, lucu, seperti hendak
terbang tapi akar-akarnya menancap erat di kepala gadis 19 tahun yang merajuk
pada entah. Lalu gerimis lagi.
Sudah
lama benar jiwanya tergeletak di
bebatuan itu, aku yakin pasti begitu kedinginan ia, tapi kulihat Chandra
semakin mesra menghadang senja yang ingin pulang. Ia berdesir dan kerap kali bertanya “mengapa
begini?” aku tak tahu, aku juga ingin bantu menjawab tapi jawabanku selalu ia
tolak, ia tak pernah mau mendengar. Dasar si keras kepala itu.
Aku
tahu Chandra lebih ingin memompa jawaban itu sendiri, agar keluar dari pipa pengap,
aku tahu Chandra ingin membebaskan sesuatu yang membatu di hatinya. aku tahu
sekalai lagi aku tahu maka itu aku meninggalkannya di lautan lepas. Di bebatuan
tempat raganya tegak bersenandung menatap malam. Benar ini sudah mulai malam.
Dan
bergerimis lagi, matanya memang ampuh menurunkan hujan. kata angin, Chandra begitu
murung, meski dalam ingatannya bergejolak memori yang riang. Dia mengucap
pertanyaan yang sama.
Mungkin
jika boleh kutafsirkan secara ngawur dan frontal , Chandra sedang mengidap luka
yang dalam, tak tahu di sebelah mana tapi semua itu terhubung jelas dengan
matanya. Aku pernah menatap bibirnya tersenyum tapi lihat matanya, siapa yang
bisa menyangkal bahwa matanya berujar kepedihan yang tampak sakit tiada tara. Aku
urung bertanya perihal apa karena menurutku ia belum berhasil menemui sosok
yang seharusnya ada mendekapnya. Siapa lagi, siapa lagi jika bukan ayahnya. Riwayat
ini begitu panjang dan tak ada niatku untuk mengulasnya.
Tapi
angin berujar hal yang lebih gila padaku, angin melihat Chandra memukul
kepalanya, ia begitu marah pada rindunya, rindu yang lebih menyiksa dari pada
lupa atau sejenisnya, ia meniup roti dengan tanaman lilin dalam genggamannya
dengan bercucur nestapa. Ia memejam sejenak namun begitu lama.
Ia
ingin ada sosok yang memukulnya saat ia tumbuh dengan angkuh dan bodoh, atau
paling tidak menamparnya ke dinding jika ia lemah dan kerap mengundang gerimis
seperti ini. Ia lalu mengadu, bahwa dunia begitu konyol seperti ibu tiri,
banyak manusia yang belum pernah tergambar dalam lingkup pikirnya, dan saat
menjumpainya ia ketakutan, tak tahu kemana ia meluapkan kekesalan juga
kengeriannya. Hanya ia padam dan ia tumpahkan pada angin atau bulan seperti
namanya.
Lagi,
jika bicara rindu, mungkin rindu Chandra dua kali lipat lebih luas dari laut
ini, saban malam jika benar rindu benar ia diculik mimpi, dan jika seperti itu
ia akan memohon pada malam, agar berbesar hati melambatkan surya yang begitu
cepat ingin bersinar. Tak padam meski 19 tahun telah berlalu.
Namun
meski nestapa hidupnya menderma sejadinya ia tetap bersyukur, lihatlah senyum
kecilnya yang sedang ia pelukkan pada angin, ia berkabar bahwa ia telah dewasa
ah bukan bukan dewasa, mmm bagaimana ya cara menyebutnya?, ah begini kupikir ia
sedikit lebih terarah cara berpikirnya, dunia yang kerap membuatnya banting stir
mampu membuatnya sedikit tangguh,
entahlah aku hanya sedikit suka dengannya. Kadang dia berbesar hati
menceritakan duka atau sukanya padaku, namun tak kutanggapi dengan betul karena
sejatinya ia hanya ingin mendorong kekesalannya keluar. Ia tak bisa kusebut
dewasa karena dalam ranah-ranah tertentu ia kerap merengek dan aku cukup kesal
ingin memukulnya. Tapi tak kuasa karena ia sangat sangat lihai memblokade niatku
dengan celetuknya yang membuncah dengan tawa.
Tujuh hari sebelum tahun barunya ia menderma
kisahnya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar