Senin, 03 September 2018


Sembilan Belas


(Sumber foto : Phinemo.com)

Chandra menyebutnya 19, tak tahu jelmaan angka ini melekat dalam tarik napas Chandra, pada rona 19 ia terheran-heran pada kerak-kerak laku  yang mulai sangsi ia pahami. Baik dalam nuraninya , orang di sekitarnya atau bahkan petikan-petikan peristiwa yang hilir mudik menjelma.

Dalam desir pasir pantai yang terkoyak ombak, atau suara gemericik yang menghantam kerasnya bebatuan yang kini jadi kandang ia merenung, ia menerawang semua laku kehidupannya. sejak 30 menit lalu ia menghadap surya yang paling beberapa jam lagi angslup meredup, kepongahan, kenestapaan, kepedihan, kebahagiaan, kecerobohan, kepanikan dan banyak hal bergemuruh di benak, tak kalah nyaring suaranya dari raja lautan. Tapi sungguh, ia sedang menjadi Chandra yang pendiam.

Bibirnya terkunci rapat-rapat, kau bisa lihat matanya begitu hangat dan setengah terpejam ,lalu jika ingatannya menembus palung tersakit atau paling memalukan ia menunduk, bergerimislah sore itu dari mata sendunya. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain menyaksikan dengan nanar.

Lalu jika sudah sedikit sembuh ia gali lagi ingatannya ia mendongkak dan mencium angin, menghadap lautan, kau bisa melihat sebagian rambutnya tergurai lemas dalam ikatan dan sebagian lagi,terutama pada haluan dahi,  rambut itu ikut bernapas, lucu, seperti hendak terbang tapi akar-akarnya menancap erat di kepala gadis 19 tahun yang merajuk pada entah. Lalu gerimis lagi.

Sudah lama benar  jiwanya tergeletak di bebatuan itu, aku yakin pasti begitu kedinginan ia, tapi kulihat Chandra semakin mesra menghadang senja yang ingin pulang.  Ia berdesir dan kerap kali bertanya “mengapa begini?” aku tak tahu, aku juga ingin bantu menjawab tapi jawabanku selalu ia tolak, ia tak pernah mau mendengar. Dasar si keras kepala itu.

Aku tahu Chandra lebih ingin memompa jawaban itu sendiri, agar keluar dari pipa pengap, aku tahu Chandra ingin membebaskan sesuatu yang membatu di hatinya. aku tahu sekalai lagi aku tahu maka itu aku meninggalkannya di lautan lepas. Di bebatuan tempat raganya tegak bersenandung menatap malam.  Benar ini sudah mulai malam.

Dan bergerimis lagi, matanya memang ampuh menurunkan hujan. kata angin, Chandra begitu murung, meski dalam ingatannya bergejolak memori yang riang. Dia mengucap pertanyaan yang sama.

Mungkin jika boleh kutafsirkan secara ngawur dan frontal , Chandra sedang mengidap luka yang dalam, tak tahu di sebelah mana tapi semua itu terhubung jelas dengan matanya. Aku pernah menatap bibirnya tersenyum tapi lihat matanya, siapa yang bisa menyangkal bahwa matanya berujar kepedihan yang tampak sakit tiada tara. Aku urung bertanya perihal apa karena menurutku ia belum berhasil menemui sosok yang seharusnya ada mendekapnya. Siapa lagi, siapa lagi jika bukan ayahnya. Riwayat ini begitu panjang dan tak ada niatku untuk mengulasnya.

Tapi angin berujar hal yang lebih gila padaku, angin melihat Chandra memukul kepalanya, ia begitu marah pada rindunya, rindu yang lebih menyiksa dari pada lupa atau sejenisnya, ia meniup roti dengan tanaman lilin dalam genggamannya dengan bercucur nestapa. Ia memejam sejenak namun begitu lama.

Ia ingin ada sosok yang memukulnya saat ia tumbuh dengan angkuh dan bodoh, atau paling tidak menamparnya ke dinding jika ia lemah dan kerap mengundang gerimis seperti ini. Ia lalu mengadu, bahwa dunia begitu konyol seperti ibu tiri, banyak manusia yang belum pernah tergambar dalam lingkup pikirnya, dan saat menjumpainya ia ketakutan, tak tahu kemana ia meluapkan kekesalan juga kengeriannya. Hanya ia padam dan ia tumpahkan pada angin atau bulan seperti namanya.

Lagi, jika bicara rindu, mungkin rindu Chandra dua kali lipat lebih luas dari laut ini, saban malam jika benar rindu benar ia diculik mimpi, dan jika seperti itu ia akan memohon pada malam, agar berbesar hati melambatkan surya yang begitu cepat ingin bersinar. Tak padam meski 19 tahun telah berlalu.

Namun meski nestapa hidupnya menderma sejadinya ia tetap bersyukur, lihatlah senyum kecilnya yang sedang ia pelukkan pada angin, ia berkabar bahwa ia telah dewasa ah bukan bukan dewasa, mmm bagaimana ya cara menyebutnya?, ah begini kupikir ia sedikit lebih terarah cara berpikirnya, dunia yang kerap membuatnya banting stir mampu membuatnya  sedikit tangguh, entahlah aku hanya sedikit suka dengannya. Kadang dia berbesar hati menceritakan duka atau sukanya padaku, namun tak kutanggapi dengan betul karena sejatinya ia hanya ingin mendorong kekesalannya keluar. Ia tak bisa kusebut dewasa karena dalam ranah-ranah tertentu ia kerap merengek dan aku cukup kesal ingin memukulnya. Tapi tak kuasa karena ia sangat sangat lihai memblokade niatku dengan celetuknya yang membuncah dengan tawa.

 Tujuh hari sebelum tahun barunya ia menderma kisahnya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar