Senin, 03 September 2018


Tiwas Geer

Di suatu pagi Lady Cempluk bersama kawannya, Genduk Nichole hendak membeli sayur ke warung sebelah indekosnya, sedangkan untuk nasinya mereka memasak sendiri pakai mejikom, maklum sebagai sarana pengiritan mereka harus pandai-pandai mengatur uang.

Sesaat setelah keluar dari pintu gerbang Lady Cempluk dan Genduk Nichole bertemu Bu Gembus pemilik indekos.

mak tratap !

“Nduk,” sapanya dengan halus.

Selalu ada getaran ketakutan manakala bertemu ibu indekos, takut kalau-kalau ada biaya-biaya gaib yang Bu Gembus ajukan untuk mereka seperti biasanya.

“Oh iya Bu ada apa ya?” jawab Cempluk dengan lirih.

“Begini saya mau tanya, itu yang dikamarmu itu dipannya ada satu apa dua ya? Kan kamu sekamar berdua to?” 

“Huft tak kira ada apa,” batin cempluk sebelum menjawab.

“Ada satu itu Bu, memangnya ada apa ya?”

“Anu, kalau ada satu mau tak kasih dipan lagi gitu loo, kasihan soalnya,”

Cempluk pun terdiam sejenak, ia tiba-tiba saja langsung merasa senang dan tersanjung atas perhatian Bu Gembus, karena sebagai anak indekos yang hidup terlunta-lunta ternyata masih ada yang peduli dengan nasibnya.

 “Wah beneran Bu? boleh-boleh hehe, tidur di bawah memang agak dingin og Bu, apalagi saya juga sering pulang malam, badan jadi pegel-pegel semua.”

“Bukan, bukan itu maksud saya, maksud saya itu kasihan kasurnya, nanti kalau cepat rusak,” sela Bu Gembus.

Cempluk pun sepichleces, tak bisa berkata apa-apa lagi.

Sementara itu Bu Gembus langsung pergi, dan Genduk Nichole menahan tawanya sambil menarik Cempluk.

“Pluk Pluk Makane ojo geer dadi wong.

Cempluk pun marah sampai berhari-hari.

Widy Hastuti Chasanah Jebres,  Surakarta.

(karena ketidaklucuannya tulisan ini gagal dimuat di suatu surat kabar ah ya daripada berlama-lama dalam kebimbangan  dan  kesedihan lebih baik saya posting di sini, biar tak mangkrak di sudut-sudut hardisk saya)
Tentu sangat tentu terbuka kritik dan saran


Tidak ada komentar:

Posting Komentar