Titip
Rindu Buat Ayah
Tidak
ada puisi serta tidak ada nyanyian yang tepat untuk menggambarkan seseorang
yang seringkali orang sebut sebagai ayah
dalam kepalaku. Sosok itu begitu abstrak bahkan tak tergambar dalam mimpiku
sekalipun. Aku tak mendramatisir, ini hanyalah ungkapan luka juga mungkin
ungkapan syukur.
Sejujurnya
aku telah sangat terbiasa tanpanya, tapi terkadang di hari-hari penting, di
hari-hari bahagia ingatanku serta kepalaku kerap kali memanggilnya. Ini
membuatku sedih karena dia telah melewatkan banyak hal sedangkan aku
berkeinginan mengabarkan semuanya. Pertarungan ekspetasi dengan sebuah realita
ini pada akhirnya membenturkanku pada kekecewaan yang juga kerap terulang
setiap waktu. Aku serakah karena telah
merindukannya dan menginginkan dia ada dalam hari bahagiaku.
Tahap-tahapan
hidup yang kerapkali menyakitkan selalu kutempuh sendirian. Orang lain mungkin
terbiasa berkabar dengan orang tua mereka sedangkan aku lebih memilih
memendamnya. Pun kepada ibu, aku takut kalau-kalau kabar buruk yang aku bawa
memenuhi benaknya atau bahkan menguras deras air matanya. Sehingga perkara
pendam-memendam, aku telah terbiasa. Hanya kabar-kabar riang yang kuadukan. Ini
lumrah dan tidak pernah menjadi masalah.
Pada hari-hari sulit aku juga tak pernah mengundang
ayah untuk turut serta kusalahkan. Ini kusadari sebagai laju-laju hidup yang menawan, yang
memantik sikap kedewasaan secara perlahan. Tapi di hari bahagia, hari saat Tuhan
memberi hadiah-hadiah istimewa, aku kerapkali menangis dan mengingatnya. Aku hanya
ingin berkabar atas pencapaian yang telah kutempuh dengan perjuangan yang
menyakitkan, aku hanya ingin mengatakan bahwa aku bukan seorang anak yang
merepotkan. Sehingga kabar-kabar manis ini bisa membuatnya hadir di sela-sela
hidupku.
Keadaan ini,
serta pertarungan terhadap diri sendiri ini telah biasa. Namun, aku masih saja
berurai air mata setiap kali mendengar namanya, setiap teman-teman menceritakan
perihal “ayah”, pun setiap sesi wawancara-wawancara resmi yang melibatkan
namanya. Aku hanya tertunduk dan menangis, orang pikir mereka melukaiku,
padahal aku hanya terluka karena tidak bisa menceritakan apapun tentangnya. Bahkan
kadang lagu-lagu tentangnya, yang bisa orang nyanyikan dengan lantang hanya
berhenti ditenggorokanku dan seketika hujan membubuhi pipi dan mataku.
Ini memang
menyedihkan, tapi Tuhan selalu mengganti kesakitan-kesakitan dengan hadiah
cantik dan istimewa. Dengan hadirnya ibu dan seseorang-seseorang yang
mencintaiku. Terima kasih, Ayah lekaslah pulang….
Matahari terbenam, 20/12/19.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar