Selasa, 25 Februari 2020

            “Kepahitan Seperempat Abad”

Lagu Half of Fame dari The Script mematangkan perenungan ini. perenungan tentang kepayahan dan kesakitan yang kualami saat menginjak usia 22 tahun. Ini bukan bilangan kecil lagi, ini bilangan yang menuntut banyak hal. Aku jadi ingin cerita  betapa menyakitkan usia-usia 20-an ini. Usia saat kita dituntut untuk tahu kemana sebenarnya kapal kita akan berlayar. Usia saat kita benar-benar harus mengenali diri sendiri dengan baik.

Ada banyak keraguan yang harus segera dipastikan pada usia ini, dan lebih menyakitkannya lagi, aku tidak cukup mengenal dirku sendiri, seperti ihwal apa yang aku suka dan apa yang sebenarnya aku inginkan. Kadangkala semua ini membuatku menyesal terhadap waktu yang banyak sekali aku sia-siakan, aku belum mencoba banyak hal dan aku banyak membuang kesempatan. 

Hingga akhirnya, seusai berdebat dengan diri sendiri dan mempertimbangkan banyak hal, aku memilh sebuah jalan. Sederhananya aku ingin jadi manusia yang bermanfaat, namun untuk mencapai itu kita menempuh jalan sesuai minat dan bakat kita. Seorang dokter misalnya, bermanfaat melalui kemampuannya mendeteksi penyakit dan mengobatinya, seorang guru bermanfaat melalui kemampuannya mengajar dlsb. Lantas aku, aku ingin bermanfaat melalui cara apa dan cara yang bagaimana itu yang masih sangat aku pikirkan. 

Bagaimana bisa di usia ini aku masih belum bisa mengukur bakat yang ada dalam diriku sendiri, bagaimana bisa di usia ini aku belum mengerti apa yang aku sukai, tapi memang begitu nyatanya. Semua kemampuanku kupikir hanya ditaraf rata-rata, dan ini menjadi pekerjaan rumah terbesar yang aku miliki untuk menemukan apa yang sebenarnya menjadi minatku. 

Aku tidak tahu apakah kekonyolan ini juga dialami oleh orang lain, tapi inilah usia 22 tahun, usia yang akrab dengan banyak pertanyaan. Kemana kamu akan pergi, kamu ingin hidup seperti apa, kamu akan bagaimana, dan apa yang ingin kamu lakukan.

Selain itu, usia ini juga rentan dengan perbandingan. Tidak bisa dipungkiri naluri kita kerap kali membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain, baik dari pencapaiaannya atau dari tahap-tahap kehidupannya. Kita kerap kali menjadikan hidup orang lain sebagai parameter bahwa kita juga harus hidup seperti mereka dengan waktu yang bersamaan, padahal itu adalah hal yang tidak mungkin terjadi. Kita berawal dari garis yang berbeda dengan tujuan yang berbeda pula, lantas kenapa harus memaksa dan menyikiti diri sendiri seperti itu. Oleh karena itu, membandingkan diri sendiri dengan orang lain membuat kita tidak menghargai upaya keras yang kita lakukan sendiri. kita hanya terus menerus mengutuk diri agar memiliki pencapaian yang sama dengan yang lain.

Begitulah usia seperempat abad ini, pikiran kita menjadi lebih matang sehingga banyak menekan kita untuk berubah dan perlahan meninggalkan zona ternyaman kita. Ya dengan memperbanyak kesalahan dan memperbanyak percobaan. Semua bermula dari sebuah tanya “apa yang ingin kamu lakukan?”

Apapun itu, semoga kita tetap waras menghadapi kejutan-kejutan lain yang bertahap tingkat kepahitannya. Semoga kita tetap sehat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam diri kita sendiri.  

Jumat, 20 Desember 2019


Titip Rindu Buat Ayah



Tidak ada puisi serta tidak ada nyanyian yang tepat untuk menggambarkan seseorang yang seringkali  orang sebut sebagai ayah dalam kepalaku. Sosok itu begitu abstrak bahkan tak tergambar dalam mimpiku sekalipun. Aku tak mendramatisir, ini hanyalah ungkapan luka juga mungkin ungkapan syukur.

Sejujurnya aku telah sangat terbiasa tanpanya, tapi terkadang di hari-hari penting, di hari-hari bahagia ingatanku serta kepalaku kerap kali memanggilnya. Ini membuatku sedih karena dia telah melewatkan banyak hal sedangkan aku berkeinginan mengabarkan semuanya. Pertarungan ekspetasi dengan sebuah realita ini pada akhirnya membenturkanku pada kekecewaan yang juga kerap terulang setiap waktu.  Aku serakah karena telah merindukannya dan menginginkan dia ada dalam hari bahagiaku.

Tahap-tahapan hidup yang kerapkali menyakitkan selalu kutempuh sendirian. Orang lain mungkin terbiasa berkabar dengan orang tua mereka sedangkan aku lebih memilih memendamnya. Pun kepada ibu, aku takut kalau-kalau kabar buruk yang aku bawa memenuhi benaknya atau bahkan menguras deras air matanya. Sehingga perkara pendam-memendam, aku telah terbiasa. Hanya kabar-kabar riang yang kuadukan. Ini lumrah dan tidak pernah menjadi masalah.

 Pada hari-hari sulit aku juga tak pernah mengundang ayah untuk turut serta kusalahkan. Ini  kusadari sebagai laju-laju hidup yang menawan, yang memantik sikap kedewasaan secara perlahan. Tapi di hari bahagia, hari saat Tuhan memberi hadiah-hadiah istimewa, aku kerapkali menangis dan mengingatnya. Aku hanya ingin berkabar atas pencapaian yang telah kutempuh dengan perjuangan yang menyakitkan, aku hanya ingin mengatakan bahwa aku bukan seorang anak yang merepotkan. Sehingga kabar-kabar manis ini bisa membuatnya hadir di sela-sela hidupku. 

Keadaan ini, serta pertarungan terhadap diri sendiri ini telah biasa. Namun, aku masih saja berurai air mata setiap kali mendengar namanya, setiap teman-teman menceritakan perihal “ayah”, pun setiap sesi wawancara-wawancara resmi yang melibatkan namanya. Aku hanya tertunduk dan menangis, orang pikir mereka melukaiku, padahal aku hanya terluka karena tidak bisa menceritakan apapun tentangnya. Bahkan kadang lagu-lagu tentangnya, yang bisa orang nyanyikan dengan lantang hanya berhenti ditenggorokanku dan seketika hujan membubuhi pipi dan mataku. 

Ini memang menyedihkan, tapi Tuhan selalu mengganti kesakitan-kesakitan dengan hadiah cantik dan istimewa. Dengan hadirnya ibu dan seseorang-seseorang yang mencintaiku. Terima kasih, Ayah lekaslah pulang….


Matahari terbenam, 20/12/19.


Kamis, 07 November 2019

Obrolan Malam


Obrolan Malam


Aku tak tahu mengapa malam kerap menghadirkan kegelisahan semacam ini. Rasa sepi yang muncul pada waktu petang ini kadang menciptakan ruang untuk berdialektika dengan diri sendiri. Kadangkala obrolan kami seputar kepayahan atau kekhawatiran-kekhawatiran wajar yang timbul dari naik turunnya fase hidup, kadang bisa juga seputar hal-hal konyol yang patut disesali juga kebahagiaan-kebahagiaan yang muncul dari rasa syukur.

Dialektika yang seringkali menumbuhkan keresahan ini adalah upaya yang baik untuk mengenal diri sendiri. Sama seperti saat kita bercermin yang mana pada saat itulah kita berusaha memastikan bahwa diri kita ini baik, ya minimal pantas dipandang orang, tapi dalam proses bercermin itu kadang kita menemukan titik yang membuat kita tidak percaya diri dan hal spontan yang akan kita lakukan adalah berusaha memperbaikinya. 

Proses itu hanyalah dari sisi tampilan yang mana seringkali kita agung-agungkan, padahal ada hal yang jauh lebih penting untuk terus kita perbaiki yaitu hal yang ada dalam diri kita, mencakup mental dan pikiran. Karena dari dua hal inilah kita mampu melahirkan cara bersikap hingga menghasilkan keputusan-keputusan yang tepat. 

Ada hal yang sangat kusesali di masa lalu entah cara berpikirku, cara bersikapku hingga keputusan-keputusan yang aku ambil. Penyesalan itu masih saja membuatku duduk lama dan bercermin. Melalui ingatan yang tersisa, aku  kerap memutar ulang kesalahanku hingga membuatku bertanya pada diriku sendiri, juga menertawai kekonyolan yang kubuat di masa dulu, namun tentu aku juga merasakan sakit yang sama tapi setelah prosesi itu selesai aku cukup tenang dan membuatku memiliki banyak pertimbangan agar tak membuat kegaduhan yang sama. 

Sama seperti kita yang terluka atas ucapan orang, yang mana dari luka-luka itu membuat kita jauh lebih berhati-hati saat berbicara dengan orang. Kupikir ini adalah dampak baik bercermin. Membuat kita lebih banyak pertimbangan untuk tak mengulang kesalahan yang kita lakukan, maupun yang kita lihat, serta yang kita dengar kepada orang lain. Manusia memang tak ada yang sempurna, tapi kalau kita terjebak dalam kesalahan yang sama itu agak keterlaluan. 

Aku sungguh bingung ingin bercerita mengenai apa, ini hanyalah pembuka, lain kali aku akan lebih sering menulis. Selamat malam, mari bercermin.


Sabtu, 05 Oktober 2019


Umrah Aman dan Nyaman Bersama “Ahsanta”


Umrah merupakan salah satu bentuk ibadah umat muslim, ibadah ini dilakukan di Kota Makkah khususnya Masjidil Haram. Berbeda dengan ibadah haji, umrah dapat dilaksanakan sewaktu-waktu tanpa menunggu bulan-bulan tertentu seperti pada ibadah haji. Oleh karena itu, banyak masyarakat yang antusias untuk melakukan ibadah umrah, terutama pada era digital  yang banyak menawarkan kemudahan dalam berbagai hal, salah satunya yaitu menawarkan paket perjalanan umrah yang aman dan nyaman untuk masyarakat.

Penyedia paket perjalanan umrah sering disebut sebagai travel umrah. Travel umrah ini bertujuan untuk mendampingi perjalanan jemaah dalam ibadah umrah seperti dari penyediaan tiket pesawat, konsumsi selama perjalanan umrah, penginapan, hingga moda transportasi yang digunakan jemaah untuk menuju tempat ibadah. Selain itu travel umrah juga memberikan informasi-informasi dan pendampingan kepada jemaah untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan selama perjalanan umrah.

Atas dasar fungsi yang begitu penting itulah pemilihan travel umrah perlu dilakukan dengan sangat hati-hati dan selektif karena banyak kasus penipuan travel umrah yang terjadi pada tahun-tahun belakangan ini, seperti penggelapan dana jemaah hingga kegagalan jemaah untuk berangkat ke Tanah Suci Makkah.
Terlepas dari banyaknya kasus penipuan pada agen perjalanan umrah, kita tidak boleh melupakan fakta bahwa masih banyak agen perjalanan umrah lain yang dapat dipercaya seperti biro perjalanan umrah dan haji “Ahsanta Tours and Travel”. “Ahsanta” memiliki badan hukum yang kuat, hal itu terlihat dari perizinan yang dimiliki “Ahsanta” salah satunya adalah SK yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman dan HAM No: C-09317 HT.01.01.TH.2003. Selain itu “Ahsanta” juga memiliki SIUP dari Jasa Biro Perjalanan dan Perdagangan Barang, SK dari Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah tentang izin penyelenggaraan ibadah umrah dan ibadah haji,  Serta keikutsertaan “Ahsanta” dalam Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia. Pada tahun 2016 “Ahsanta” berhasil mendapatkan ISO 9001:2015 yang merupakan sertifikat kualitas manajemen mutu berstandar internasional dari Bureau Veritas Perancis.

Biro perjalanan haji dan umrah yang berdiri sejak tahun 2003 ini memiliki 3 program utama yaitu Paket haji khusus, paket umrah dan paket halal tour (wisata islami). Selain membantu dan mendampingi jemaah dalam perjalanan umrah atau haji, “Ahsanta” juga memberikan kenyamanan kepada jemaah dengan memfokuskan diri untuk memberikan bekal akhlak dan ilmu yang bersifat rohani kepada jemaah agar memiliki pemahaman  yang baik mengenai keagamaan sehingga dapat meningkatkan ketakwaan kepada Allah Swt. Pelayanan terhadap rohani inilah yang membedakan biro perjalanan haji dan umrah “Ahsanta” dengan biro yang lain.

Adapun visi “Ahsanta” yaitu menjalankan program dengan amanah dan professional dalam memberikan pelayanan prima kepada seluruh jemaah untuk mendapatkan kepuasan dan ketenangan dalam beribadah. Dari visi tersebut dapat terlihat bahwa “Ahsanta” lebih mengedapankan pelayanan kepada publik sehingga kepuasan dan ketenangan jemaah dalam beribadah lebih terjamin.

Informasi lebih lanjut mengenai biro perjalanan haji dan umrah “Ahsanta” dapat dilihat pada website resminya di www.ahsanta.comdan pada instagram @ahsantatravel. Selamat berumrah dengan aman dan nyaman bersama “Ahsanta”.

                                                                                                         Surakarta, 4 Oktober 2019 




Kamis, 03 Oktober 2019


Sepatu Mei

Mei terisak sambil berjalan menuju rumahnya. Sesampainya di dahan pintu ia mulai mengecilkan suara tangisnya dan hanya sesenggukan yang tersisa. Air matanya ia singkirkan dari wajahnya yang kusam dan mencoba untuk seriang mungkin saat menatap Ibunya. Tapi ternyata Ibunya  tidak di rumah “syukurlah aku bisa menangis dengan leluasa” pekiknya dalam hati. 

“kenapa pula mereka menghujat sepatuku, apa urusannya sepatuku dengan hidup mereka, padahal sepatuku tak pernah kupakai untuk menendang atau menyakiti mereka, kini sepatuku rusak dan bagaimana besok aku berangkat ke sekolah” ucapnya dengan pasrah. Mei tertunduk lesu, ia putus asa. Sepatunya tak mungkin lagi bisa dijahit karena sepatunya sudah menempuh lebih dari 8  kali jahitan, apalagi jika harus dilem, itu adalah hal yang sia-sia.

“Pada bulan lalu saja, tukang sol yang sering mangkal di dekat pabrik roti itu sudah hampir menyerah dengan sepatuku, mana mungkin kubawa lagi ke sana” ujarnya dengan kesal.

Mei melanjutkan tangisnya dan berpikir keras mengenai esok ia akan ke sekolah. Kemungkinan-kemungkinan buruk mulai muncul di kepalanya, ia murung di dalam kamar dan memikirkan seribu cara agar mendapatkan sepatu tanpa meminta kepada Ibunya. Dalam pikirannya, meminta kepada Ibunya akan menimbulkan proses panjang yang hanya akan menghasilkan solusi yang sama yaitu sepatu bekas, itupun entah berapa bulan yang akan datang.

Suara dahan pintu yang berdecit terdengar, ia pura-pura tidur dan menyembunyikan mata sembabnya. Ibunya hanya menengoknya sekejap dan saat Mei bangun karena tertidur, Ibunya sudah menghilang kembali.

“Maafkan aku Ibu, seharusnya aku membantumu bekerja serabutan di pasar tapi kau bilang aku masih terlalu kecil.” Ucapnya dengan lirih. Mei biasanya hanya membantu Ibunya entah membereskan rumah atau memasak alakadarnya. Tapi kini ia tak bergeming, wajahnya memuram kesal. Matanya memandangi sepatu yang hancur juga tasnya yang telah menempuh berkali-kali jahitan.

**
“Sudah jam 10 malam, kenapa Mei belum pulang juga,” ujar Ibu Mei dengan raut gelisah. Ia menyusuri jalanan tempat anak-anak bermain, di jalanan kota yang ramai, ia kesana kemari sambil memandangi orang-orang yang serupa dengan Mei, bahkan ia telah berkali-kali mondar-mandir ke pasar tapi tetap nihil.

Sesampainya di rumah, Ibunya menjadi tambah gelisah, tidak ada bekas-bekas pintu rumahnya terbuka, bahkan tidak ada sandal Mei yang biasanya terlempar di dekat kursi yang tidak empuk itu. “ah kemana anakku, harus kemana lagi aku mencarinya?” serunya sambil menahan tangis.

Saat subuh, suara dercit pintu terdengar, Ibunya terkejut bukan kepalang, tanpa berpikir panjang ia segera berlari ke ruang depan.

“Mei” seru Ibunya,

 “Iya bu”

“Kemana kamu semalam? Kenapa hingga subuh baru pulang?” Tanya ibu mei.

“Aku ke rumah temanku bu.” Mei menjawab dengan datar.

 “Teman yang mana? Kenapa tidak pamit dengan Ibu?”, Ibunya mulai menghunjai Mei dengan pertanyaan.

            “Teman yang baru kutemi semalam bu, dia baik sekali, dia mengajakku bermain dan aku dibawa kerumahnya” sahut Mei.

            “Begini Mei, kau itu perempuan, tidak sepantasnya kamu main hingga subuh begitu, kalau ada apa-apa denganmu bagaimana. Lain kali tidak usah main ke sana hingga larut malam” Kali ini Ibunya menghujaninya dengan nasihat. Mei tak bergeming, ia menuju kamar dengan kesal
**
“Ini adalah pelajaran penting yang harus kau ingat Mei” tegur Ojil dengan mata memerah, ia memang habis mabuk,  namun Mei tak menyadari itu.

“Kau harus berani, pikirkan bahwa kau ingin sepatu baru, kau tidak ingin terus menerus diinjak oleh teman-temanmukan?, ini adalah teknik dasar. Kalau kau berhasil mengambil sepatu di toko Pak Jaka kauu akan kurekrut menjadi anggota tetap” sambungnya dengan nada yang tinggi.

“Tapi Jil, itu adalah toko langgananku dan Ibuku, mana mungkin aku berani mencurinya e anu  maksudku mengambilnya” sela Mei.

“Kau itu bodoh, justru karena hubungan kalian sudah dekat maka Pak Jaka tak akan curiga padamu,”  ujar Ojil.

“tapi kalian berjanji akan menemaniku kan?” Mei kembali  menyela.

“ kami tidak akan meninggalkan kau Mei, komunitas ini adalah komunitas yang kompak dan loyal, kami pastikan besok kau bisa sekolah lagi” perintah Ojil.

“Baiklah.” Sahut Mei.

Sebelum melakukan aksinya, tubuh Mei bergetar, sorot matanya penuh dengan kekhawatiran, sebenarnya ia juga enggan melakukan aksi nekat ini tapi jika menunggu Ibunya membelikannya bisa satu tahun kedepan baru terkabul atau menunggu Ibu mendapat sepatu bekas yang mau tidak mau harus kebesaran atau kekecilan dan pasti harus dijahit dulu. ia juga sudah bosan bertemu  Pak Man , tukang sol itu selalu menurut apa kata Ibu, padahal kalau dipakai sudah tidak pantas untuk dilihat, celetuknya dalam hati.

Malam itu kebetulan toko lumayan ramai, Pak Jaka tak hanya menjual sepatu tapi juga peralatan sekolah yang lain. di sini terhitung lengkap, Mei bertingkah seperti biasa. Ia bahkan juga menyapa Pak Jaka yang sibuk dengan pelanggannya.

Saat semua sedang sibuk, Mei melihat-lihat sepatu yang sudah sejak lama ia impikan, ia berpura-pura mencari ukuran yang pas padahal yang ada ditangannya sudah pas. Ia gemetar, parasnya pucat pasi dan keringat sebiji jagung mulai jatuh dari pelipisnya. Rambutnya ia seka dan ia berusaha tenang, saat ia merasa tak ada yang melihat ia perlahan mundur teratur, ia berjalan dengan cepat hingga ke dahan pintu, sepatu itu ia himpitkan di pelukannya, dan perlahan berjalan lebih cepat tanpa menoleh ke belakang, ia merasa aksinya tidak mungkin ketahuan karena Pak Jaka dan karyawannya sedang sibuk dengan pengunjung yang lain.

Sepanjang perjalanan pulang perasannya tak karuan, berbagai pikiran buruk  mulai menghantui pikirannya. Takut kalau-kalau Pak Jaka atau karyawannya tahu bahwa ia mencuri. Sesampainya di rumah ia tak mendapati Ibunya. Ia perlahan membuka pintu dan bergegas ke kamar, ia buka sepatu idamannya dan membayangkan betapa besok pagi segerombolan pengejek itu akan berhenti mengejeknya.

Namun di keheningan malam ia ketakutan, ia mengingat apa yang ia lakukan tiga jam yang lalu, rasa gemetarnya bahkan masih terasa sampai detik ini. ia tidak  bisa tidur dan terus mengingat-ingat apa yang baru ia lakukan, tiba-tiba ia ketakutan dan berpikir untuk mengembalikan sepatu yang baru saja ia curi, tapi di sisi lain ia tak mau diejek oleh teman-temannya lagi.

Tengah malam itu Ibunya pulang ia sudah tahu kalau Mei sudah ada di kamar, ia perlahan masuk ke kamar, dan melihat Mei pura-pura tertidur, lantas ia juga pura-pura tidak tahu. Ia pandang sepatu baru yang terletak di kasur Mei.
**
“ Segeralah sarapan, hari ini Ibu ingin mengajakmu ke suatu tempat?”, ujar Ibunya pada Mei.

“ Tapi kan Mei harus sekolah bu” Sela Mei.

“ Tidak apa untuk izin sehari saja,” Kata Ibunya.

Mei hanya mengangguk pelan, ia sangat penasaran, ini tidak biasanya, bahkan hampir tidak pernah Ibunya seperti ini pada mei.

Mereka mulai berjalan menuju arah yang tidak asing bagi Mei, Ibunya mengajak ke toko sepatu milik Pak Jaka. Mei gelagapan, badannya gemetar dan berusaha berulang kali menolak ajakan Ibunya dengan segudang alasan. Ibunya tetap mengajaknya masuk, lalu menyapa Pak Jaka, Pak Jaka biasa saja. Tak ada raut kemarahan dalam wajahnya, hati mei sedikit lega, meski masih ketakutan bukan main.

“Mei kamu pilih sepatu yang mana?”  kata Ibunya.

Ia tidak kuasa menunjuk, ia hanya terdiam dan merasa sangat bersalah, Ibunya menyodorkan sepatu yang mirip dengan sepatu yang dicuri mei semalam, “ kalau yang ini bagaimana?”

Lagi-lagi mei hanya menunduk, ia tak kuasa mengangguk ataupun menggeleng. Ibunya berhenti bertanya dan menunduk pula dengan segudang rasa bersalah.

Mei memandangi wajah Ibunya, ia mengamati garis keriput yang semakin tegas tergambar di raut wajahnya, dan beberapa helai rambut putih yang tidak turut terikat dengan rambut lainnya. Semua keadaan itu, membuatnya semakin merasa bersalah. Pikirannya kembali berkelana pada kejadian tadi malam. Ia perlahan berurai air mata dan menampar pipinya berulang-ulang.

Solo, 07 Mei 2019

Jumat, 05 Juli 2019


Menertawai Blog Sendiri

Maaf tak mengawali kata dengan sapaan. Kalian semua tentu baik-baik saja. Jujur aku bingung ingin menulis apa, rasanya ingin menertawai saja blogku yang kerap mati suri ini. menulis masih saja menjadi hobiku yang “mood-moodan” kalau sedang mood aku bisa menulis dengan lancar tapi jika tidak mood,  bisa berbulan-bulan aku tidak menulis.

Hobi tidak seharusnya demikian,  hobi itu hal yang sangat mudah dilakukan tanpa ada paksaan. Aku jadi menyadari dan mempertanyakan, barangkali menulis memang bukan hobiku. Sejujurnya hal yang mudah kulakukan dan tanpa paksaan serta bisa bertahan berjam-jam adalah bermain gadget. Aku memang sangat kecanduan,  sehingga  aku kerap menantang diri untuk jauh dari gawai. Pasalnya aku merasakan banyak dampak buruk akibat hal yang kusebut hobi itu. jika harus dijabarkan rasanya sampai kurang etis, ya intinya itu berdampak pada fisik dan psikologisku.

Salah satu dampak buruk itu adalah kehilangan banyak waktu. Dalam sehari bisakah kita hitung kapan kita  bermesraan dengan gadget ? bahkan dalam pertemuan-pertemuan romantis yang coba kita bangun itu justru kita sia-siakan begitu saja, mata serta pikiran sudah melayang ke alam maya padahal raga saling berhadap-hadapan. Tak ada keromantisan seperti saat masih kecil dulu.  Semenjak ada gadget pintar itu, buku tak pernah tersentuh, tak pernah ada dongeng yang hidup dalam benak kita. Semua hanya berisi sampah yang menjejal dalam gadget pintar.

Mungkin tak sepenuhnya begitu bagi orang lain tapi bagiku begitulah dampak dari gawai, semua tetap tergantung dari diri kita sendiri, sehingga kupikir menjauh dari gawai adalah tindakan yang tepat. Sebenarnya ini diskusi yang seru banyak yang bisa diulas dan dibedah  perihal perilaku kita terhadap gawai. Namun sudah dulu ya, kita lanjut di lain waktu.

Intinya selamat datang lagi, blog tanpa pembaca, mari tertawa. :)




Jumat, 14 September 2018


Nestapa


Dunia keranjingan nestapa
Buah kecil yang meniduri rahimnya
Telah ia  denguskan pada kekejaman yang fana
Berontak pada puing-puing kemanusiaan yang sontak runtuh
Kala menjatuhkan selengan nyawa di kubangan gelap
Sungai-sungai  menyelimuti kedinginan sang kecil
Saat memacu laju kaki, ia gemetar, ingin ia pungut wajah berseri itu
Namun pada sudut nestapa pilu yang mana?
Aku tak tahu benar
Pukulan-pukulan hidup yang mana?
Aku pun tak tahu benar
Hingga lakon napas  seseorang bisa keji benar
Nurani seketika mati
Tiada lagi pikiran merdu yang membawa kakinya ngilu
Tetap tegak punggung mudi itu, tergopoh-gopoh menahan sembilu
Dan tangis bayi menggema
Lalu ia melupa
Akan semua

*seusai menyaksikan berita pembuangan bayi, itu benar-benar miris, bagaimana bisa sampai hati.



Selasa, 11 September 2018

Timnas Indonesia Tumbangkan Mauritius


Gelandang Timnas Indonesia, Evan dimas melakukan selebrasi usai menjebol gawang Mauritius pada laga uji coba, di stadion Wibawa Mukti, Cikarang, Jawa Barat , Selasa (11/09).  (Sumber Foto:  Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

Laga uji coba antara Indonesia vs Mauritius berhasil diselenggarakan di stadion Wibawa Mukti, Cikarang, Jawa Barat, Selasa (11/09) pukul 16.30 WIB.  Laga ini adalah laga uji coba sebelum timnas memacu sepak lagi pada Piala AFF tahun ini, selain itu,  untuk menguatkan posisi masing-masing tim di mata FIFA, pasalnya Indonesia menduduki peringkat ke-164 dan tertinggal cukup jauh dari Mauritius yang berhasil menangguhkan diri di peringkat ke-155.

Hal  yang patut disoroti dari laga ini adalah skuat garuda tak didampingi pelatih resmi mereka, Luis Milla yang kini sedang pulang ke kampung halamannya di Spanyol. Namun, meski begitu, tim garapannya berhasil menggondol skor 1-0 atas Mauritius di menit-menit akhir hasil dari sepak tajam Evan Dimas.

Permainan laga persahabatan ini berlangsung ketat meskipun Boaz dkk bermain dengan ritme cepat dan mendominasi permainan. Hal ini dikarenakan  pertahanan Mauritius bak tembok yang sukar ditembus, mereka lebih mengandalkan serangan balik ketimbang menyerang sehingga di babak pertama Indonesia kembali ke bangku istirahat dengan tangan hampa.

Di babak kedua Serangan kembali diluncurkan oleh skuat merah putih, teror-teror dari Lilipaly dkk semakin meningkat, peluang-peluang gol banyak terjadi, pun pergantian pemain banyak dilakukan oleh jajaran pelatih timnas yang duduk dibangku wasit yakni  Danurwindo, Kurniawan Dwi Yulianto, dan Kurnia Sandy. Pemain yang diturunkan yakni Boaz, Febri Haryadi, Lilypaly  dan diganti oleh  Septian Davis Maulana , Iham Udin armayn, serta Dedik Setiawan.

Skor tak berubah hingga wasit meniup peluit tanda berakhirnya pertandingan. Selanjutnya timnas akan menjamu Myanmar pada Selasa (09/10).

,