Sepatu Mei
Mei
terisak sambil berjalan menuju rumahnya. Sesampainya di dahan pintu ia mulai
mengecilkan suara tangisnya dan hanya sesenggukan yang tersisa. Air matanya ia
singkirkan dari wajahnya yang kusam dan mencoba untuk seriang mungkin saat
menatap Ibunya. Tapi ternyata Ibunya
tidak di rumah “syukurlah aku bisa menangis dengan leluasa” pekiknya
dalam hati.
“kenapa
pula mereka menghujat sepatuku, apa urusannya sepatuku dengan hidup mereka,
padahal sepatuku tak pernah kupakai untuk menendang atau menyakiti mereka, kini
sepatuku rusak dan bagaimana besok aku berangkat ke sekolah” ucapnya dengan
pasrah. Mei tertunduk lesu, ia putus asa. Sepatunya tak mungkin lagi bisa
dijahit karena sepatunya sudah menempuh lebih dari 8 kali jahitan, apalagi jika harus dilem, itu
adalah hal yang sia-sia.
“Pada
bulan lalu saja, tukang sol yang sering mangkal di dekat pabrik roti itu sudah
hampir menyerah dengan sepatuku, mana mungkin kubawa lagi ke sana” ujarnya
dengan kesal.
Mei
melanjutkan tangisnya dan berpikir keras mengenai esok ia akan ke sekolah.
Kemungkinan-kemungkinan buruk mulai muncul di kepalanya, ia murung di dalam
kamar dan memikirkan seribu cara agar mendapatkan sepatu tanpa meminta kepada Ibunya.
Dalam pikirannya, meminta kepada Ibunya akan menimbulkan proses panjang yang
hanya akan menghasilkan solusi yang sama yaitu sepatu bekas, itupun entah
berapa bulan yang akan datang.
Suara
dahan pintu yang berdecit terdengar, ia pura-pura tidur dan menyembunyikan mata
sembabnya. Ibunya hanya menengoknya sekejap dan saat Mei bangun karena tertidur,
Ibunya sudah menghilang kembali.
“Maafkan
aku Ibu, seharusnya aku membantumu bekerja serabutan di pasar tapi kau bilang
aku masih terlalu kecil.” Ucapnya dengan lirih. Mei biasanya hanya membantu Ibunya
entah membereskan rumah atau memasak alakadarnya. Tapi kini ia tak bergeming,
wajahnya memuram kesal. Matanya memandangi sepatu yang hancur juga tasnya yang
telah menempuh berkali-kali jahitan.
**
“Sudah
jam 10 malam, kenapa Mei belum pulang juga,” ujar Ibu Mei dengan raut gelisah.
Ia menyusuri jalanan tempat anak-anak bermain, di jalanan kota yang ramai, ia
kesana kemari sambil memandangi orang-orang yang serupa dengan Mei, bahkan ia
telah berkali-kali mondar-mandir ke pasar tapi tetap nihil.
Sesampainya
di rumah, Ibunya menjadi tambah gelisah, tidak ada bekas-bekas pintu rumahnya
terbuka, bahkan tidak ada sandal Mei yang biasanya terlempar di dekat kursi yang
tidak empuk itu. “ah kemana anakku, harus kemana lagi aku mencarinya?” serunya
sambil menahan tangis.
Saat
subuh, suara dercit pintu terdengar, Ibunya terkejut bukan kepalang, tanpa
berpikir panjang ia segera berlari ke ruang depan.
“Mei”
seru Ibunya,
“Iya bu”
“Kemana
kamu semalam? Kenapa hingga subuh baru pulang?” Tanya ibu mei.
“Aku
ke rumah temanku bu.” Mei menjawab dengan datar.
“Teman yang mana? Kenapa tidak pamit dengan Ibu?”,
Ibunya mulai menghunjai Mei dengan pertanyaan.
“Teman
yang baru kutemi semalam bu, dia baik sekali, dia mengajakku bermain dan aku
dibawa kerumahnya” sahut Mei.
“Begini
Mei, kau itu perempuan, tidak sepantasnya kamu main hingga subuh begitu, kalau ada
apa-apa denganmu bagaimana. Lain kali tidak usah main ke sana hingga larut
malam” Kali ini Ibunya menghujaninya dengan nasihat. Mei tak bergeming, ia
menuju kamar dengan kesal
**
“Ini
adalah pelajaran penting yang harus kau ingat Mei” tegur Ojil dengan mata
memerah, ia memang habis mabuk, namun Mei
tak menyadari itu.
“Kau
harus berani, pikirkan bahwa kau ingin sepatu baru, kau tidak ingin terus menerus
diinjak oleh teman-temanmukan?, ini adalah teknik dasar. Kalau kau berhasil
mengambil sepatu di toko Pak Jaka kauu akan kurekrut menjadi anggota tetap”
sambungnya dengan nada yang tinggi.
“Tapi
Jil, itu adalah toko langgananku dan Ibuku, mana mungkin aku berani mencurinya
e anu maksudku mengambilnya” sela Mei.
“Kau
itu bodoh, justru karena hubungan kalian sudah dekat maka Pak Jaka tak akan
curiga padamu,” ujar Ojil.
“tapi
kalian berjanji akan menemaniku kan?” Mei kembali menyela.
“
kami tidak akan meninggalkan kau Mei, komunitas ini adalah komunitas yang
kompak dan loyal, kami pastikan besok kau bisa sekolah lagi” perintah Ojil.
“Baiklah.”
Sahut Mei.
Sebelum
melakukan aksinya, tubuh Mei bergetar, sorot matanya penuh dengan kekhawatiran,
sebenarnya ia juga enggan melakukan aksi nekat ini tapi jika menunggu Ibunya
membelikannya bisa satu tahun kedepan baru terkabul atau menunggu Ibu mendapat
sepatu bekas yang mau tidak mau harus kebesaran atau kekecilan dan pasti harus
dijahit dulu. ia juga sudah bosan bertemu
Pak Man , tukang sol itu selalu menurut apa kata Ibu, padahal kalau
dipakai sudah tidak pantas untuk dilihat, celetuknya dalam hati.
Malam
itu kebetulan toko lumayan ramai, Pak Jaka tak hanya menjual sepatu tapi juga
peralatan sekolah yang lain. di sini terhitung lengkap, Mei bertingkah seperti
biasa. Ia bahkan juga menyapa Pak Jaka yang sibuk dengan pelanggannya.
Saat
semua sedang sibuk, Mei melihat-lihat sepatu yang sudah sejak lama ia impikan,
ia berpura-pura mencari ukuran yang pas padahal yang ada ditangannya sudah pas.
Ia gemetar, parasnya pucat pasi dan keringat sebiji jagung mulai jatuh dari
pelipisnya. Rambutnya ia seka dan ia berusaha tenang, saat ia merasa tak ada
yang melihat ia perlahan mundur teratur, ia berjalan dengan cepat hingga ke
dahan pintu, sepatu itu ia himpitkan di pelukannya, dan perlahan berjalan lebih
cepat tanpa menoleh ke belakang, ia merasa aksinya tidak mungkin ketahuan
karena Pak Jaka dan karyawannya sedang sibuk dengan pengunjung yang lain.
Sepanjang
perjalanan pulang perasannya tak karuan, berbagai pikiran buruk mulai menghantui pikirannya. Takut
kalau-kalau Pak Jaka atau karyawannya tahu bahwa ia mencuri. Sesampainya di
rumah ia tak mendapati Ibunya. Ia perlahan membuka pintu dan bergegas ke kamar,
ia buka sepatu idamannya dan membayangkan betapa besok pagi segerombolan
pengejek itu akan berhenti mengejeknya.
Namun
di keheningan malam ia ketakutan, ia mengingat apa yang ia lakukan tiga jam
yang lalu, rasa gemetarnya bahkan masih terasa sampai detik ini. ia tidak bisa tidur dan terus mengingat-ingat apa yang
baru ia lakukan, tiba-tiba ia ketakutan dan berpikir untuk mengembalikan sepatu
yang baru saja ia curi, tapi di sisi lain ia tak mau diejek oleh teman-temannya
lagi.
Tengah
malam itu Ibunya pulang ia sudah tahu kalau Mei sudah ada di kamar, ia perlahan
masuk ke kamar, dan melihat Mei pura-pura tertidur, lantas ia juga pura-pura
tidak tahu. Ia pandang sepatu baru yang terletak di kasur Mei.
**
“
Segeralah sarapan, hari ini Ibu ingin mengajakmu ke suatu tempat?”, ujar Ibunya
pada Mei.
“
Tapi kan Mei harus sekolah bu” Sela Mei.
“
Tidak apa untuk izin sehari saja,” Kata Ibunya.
Mei
hanya mengangguk pelan, ia sangat penasaran, ini tidak biasanya, bahkan hampir
tidak pernah Ibunya seperti ini pada mei.
Mereka
mulai berjalan menuju arah yang tidak asing bagi Mei, Ibunya mengajak ke toko
sepatu milik Pak Jaka. Mei gelagapan, badannya gemetar dan berusaha berulang
kali menolak ajakan Ibunya dengan segudang alasan. Ibunya tetap mengajaknya
masuk, lalu menyapa Pak Jaka, Pak Jaka biasa saja. Tak ada raut kemarahan dalam
wajahnya, hati mei sedikit lega, meski masih ketakutan bukan main.
“Mei
kamu pilih sepatu yang mana?” kata Ibunya.
Ia
tidak kuasa menunjuk, ia hanya terdiam dan merasa sangat bersalah, Ibunya
menyodorkan sepatu yang mirip dengan sepatu yang dicuri mei semalam, “ kalau
yang ini bagaimana?”
Lagi-lagi
mei hanya menunduk, ia tak kuasa mengangguk ataupun menggeleng. Ibunya berhenti
bertanya dan menunduk pula dengan segudang rasa bersalah.
Mei
memandangi wajah Ibunya, ia mengamati garis keriput yang semakin tegas
tergambar di raut wajahnya, dan beberapa helai rambut putih yang tidak turut terikat
dengan rambut lainnya. Semua keadaan itu, membuatnya semakin merasa bersalah. Pikirannya
kembali berkelana pada kejadian tadi malam. Ia perlahan berurai air mata dan
menampar pipinya berulang-ulang.
Solo, 07 Mei 2019