Kursi dan Peradaban
Bangku tua di ruang 101 itu diganti dengan bangku yang baru,
yang menurut pengamatanku jauh lebih ringkih, bahkan mungkin 2 sampai 3 tahun akan masuk gudang
atau tempat sampah. Untuk pertama kalinya bangku yang yang telah 30
tahun lebih mengabdi pada siswa yang begitu agung yang orang kerap
menyebutnya mahasiswa itu di ganti, padahal ia masih sangat kokoh dan
kuat.
Aku sebagai seseorang yang pernah duduk di kursi berkarat
itu cukup iba melihatnya dilempar dan entah akan diekspor kemana . semua telah berbenah
diri dan mengusirnya dengan cara yang begitu sopan. Tentu kesopanan itu
tercermin pada dalih mereka yang terdengar sangat peduli dengan kursi tua itu. “
kursi itu sudah tua, biarlah diganti yang lebih baru dan lebih kokoh”. Namun aku juga mendengar pengusiran kkursi itu
dalam nada sumbing “Untuk mendorong
akreditasi, tentu kursi ini tak layak
berada di sini, apa iya sudah bertaraf internasional tapi masih memakai kursi tua dan dekil ini.”
Dalam pengamatanku yang gila, dalam imajinasiku yang
ngelantur kursi itu seperti berisyarat sesuatu padaku. Dia bercerita bahwa dia
telah lama mengabdi untuk dunia pendidikan. Jasanya tak bisa dianggap remeh. Bahkan
dia satu-satunya saksi yang menyaksikan bagaimana pola-pola pikir manusia
berganti seiring zaman, dia pasti mengerti turun dan naiknya sebuah peradaban
manusia yang kerap dipanggil orang bermartabat itu. Dia pasti mengerti
bagaimana mode yang polos bisa menjadi segila ini, dia juga pasti mengerti
tentang gaya hidup yang berbeda-beda dari setiap insan yang ia amati. Dia pasti mengerti semangat-semangat yang
menggelegar disnubari setiap mahasiswa yang silih berganti .
Baiklah kuijinkan pergi karena kau sudah mengabdi lama pada
dunia pendidikan, kau turut menggaungkan dan menjalankan tujuan nasional yang
tertera pada undang-undang Negara kita : mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun Jangan Tanya padaku apakah namanmu akan
bertengger di papan nama jalan, atau di hari kelahiranmu perkuliahan dan segala
kegiatan ini akan libur memperingatimu. Aku tak tahu , tapi kau pasti tahu satu
pertanyaan bodohku ini.
Engkau sudah melihat berbagai macam insan cerdas di sini,
engkaupun sudah melihat berbagai peradaban mahasiswa pula, lalu yang ingin
kutanyakan adalah apakah peradaban ini semakin baik? Apakah mahasiswa-mahasiswa
ini berjalan seperti selayaknya?
Dan kau diam saja
jadi Haruskah aku bernyanyi seperti ini
“ Tetapi
semua diam
Tetapi
semua bisu
Tinggal
aku sendiri
Terpaku
menatap langit”
Dan berujung pada
“Coba
kita bertanya pada Rumput yang bergoyang “
“Aku tak tahu maksud pertanyaanmu dan aku tak tahu bagaiamana
mahasiswa yang layak itu, aku hanya melihat “mahasiswa dan masyarakat nampak semakin
jauh, aku bahkan mengerti kau begitu abai pada masyarakat di sekitarmu, pada
orang yang duduk di sampingmu saat di bus itu, pada sikapmu yang tak
mempersilakan orang tua untuk duduk di kursimu, kau asik mendengarkan musik barat
dan berlagak bersikap seperti intelek terpaku pada buku. Kau buta dengan orang disekitarmu, kau menghabiskan
masa emasmu untuk mengikuti mode pakaian, dan kau terpaku pada kepopuleranmu di
media social itu, kau hanya berburu makanan yang bertaraf seperti restoran
mahal itu dari pada membeli makanan pedagang kecil yang lebih membutuhkan uangmu. Begitulah
dirimu.“
“Apalagi yang ingin kau Tanyakan kepadaku ?”
Tidak apa, sudahlah mungkin aku akan ikut mengganti kursi
yang baru.
….
SURAKARTA, MENJELANG PETANG, 10 JULI 2017
widy h ch.
tulisan ini pesan untuk diri sendiri bukan untuk orang lain :)
Unch ... :)))
BalasHapusBagus, Widy. Tingkatkan. Kamu mampu menulis dengan nilai. Itu kekuatan yang harus dipunya penulis.
siap suhuku heheh :)
BalasHapus