Senin, 10 Juli 2017



Kursi dan Peradaban

   Bangku tua di ruang 101 itu diganti dengan bangku yang baru, yang menurut pengamatanku jauh lebih ringkih, bahkan  mungkin 2 sampai 3 tahun akan masuk  gudang  atau tempat sampah. Untuk pertama kalinya bangku yang yang telah 30 tahun lebih mengabdi pada siswa yang begitu agung yang orang  kerap  menyebutnya mahasiswa itu di ganti, padahal ia masih sangat kokoh dan kuat. 

Aku sebagai seseorang yang pernah duduk di kursi berkarat itu cukup iba melihatnya dilempar dan entah akan diekspor kemana .  semua telah berbenah diri dan mengusirnya dengan cara yang begitu sopan. Tentu kesopanan itu tercermin pada dalih mereka yang terdengar sangat peduli dengan kursi tua itu. “ kursi itu sudah tua, biarlah diganti yang lebih baru dan  lebih kokoh”.  Namun aku juga mendengar pengusiran kkursi itu dalam nada sumbing  “Untuk mendorong akreditasi, tentu kursi  ini tak layak berada di sini, apa iya sudah bertaraf internasional tapi masih memakai kursi tua dan dekil ini.”

Dalam pengamatanku yang gila, dalam imajinasiku yang ngelantur kursi itu seperti berisyarat sesuatu padaku. Dia bercerita bahwa dia telah lama mengabdi untuk dunia pendidikan. Jasanya tak bisa dianggap remeh. Bahkan dia satu-satunya saksi yang menyaksikan bagaimana pola-pola pikir manusia berganti seiring zaman, dia pasti mengerti turun dan naiknya sebuah peradaban manusia yang kerap dipanggil orang bermartabat itu. Dia pasti mengerti bagaimana mode yang polos bisa menjadi segila ini, dia juga pasti mengerti tentang gaya hidup yang berbeda-beda dari setiap insan yang ia amati.  Dia pasti mengerti semangat-semangat yang menggelegar disnubari setiap mahasiswa yang silih berganti . 

Baiklah kuijinkan pergi karena kau sudah mengabdi lama pada dunia pendidikan, kau turut menggaungkan dan menjalankan tujuan nasional yang tertera pada undang-undang Negara kita : mencerdaskan kehidupan bangsa.  Namun Jangan Tanya padaku apakah namanmu akan bertengger di papan nama jalan, atau di hari kelahiranmu perkuliahan dan segala kegiatan ini akan libur memperingatimu. Aku tak tahu , tapi kau pasti tahu satu pertanyaan bodohku ini.

Engkau sudah melihat berbagai macam insan cerdas di sini, engkaupun sudah melihat berbagai peradaban mahasiswa pula, lalu yang ingin kutanyakan  adalah apakah  peradaban ini semakin baik? Apakah mahasiswa-mahasiswa ini berjalan seperti selayaknya?  

Dan kau diam saja  jadi Haruskah aku bernyanyi seperti ini

Tetapi semua diam  
Tetapi semua bisu
Tinggal aku sendiri
Terpaku menatap langit

Dan berujung pada 

“Coba kita bertanya pada Rumput yang bergoyang

“Aku tak tahu maksud pertanyaanmu dan aku tak tahu bagaiamana mahasiswa yang layak itu, aku hanya melihat “mahasiswa dan masyarakat nampak semakin jauh, aku bahkan mengerti kau begitu abai pada masyarakat di sekitarmu, pada orang yang duduk di sampingmu saat di bus itu, pada sikapmu yang tak mempersilakan orang tua untuk duduk di kursimu, kau asik mendengarkan musik barat dan berlagak bersikap seperti intelek terpaku pada buku.  Kau buta dengan orang disekitarmu, kau menghabiskan masa emasmu untuk mengikuti mode pakaian, dan kau terpaku pada kepopuleranmu di media social itu, kau hanya berburu makanan yang bertaraf seperti restoran mahal itu dari pada membeli makanan pedagang  kecil yang lebih membutuhkan uangmu. Begitulah dirimu.“

“Apalagi yang ingin kau Tanyakan kepadaku ?”

Tidak apa, sudahlah mungkin aku akan ikut mengganti kursi yang baru.
….
SURAKARTA, MENJELANG PETANG,  10 JULI 2017
widy h ch. 



tulisan ini pesan untuk diri sendiri bukan untuk orang lain :) 

2 komentar:

  1. Unch ... :)))

    Bagus, Widy. Tingkatkan. Kamu mampu menulis dengan nilai. Itu kekuatan yang harus dipunya penulis.

    BalasHapus