“Karma”
"Pagi-pagi
jangan tiduran nduk!" Sambil membenarkan posisinya tidurnya, Atik mendengarkan lamat-lamat.
"Ah
bukan urusanmu," sambil menutup pintu kamar dengan kakinya yang menjulur
ke dahan pintu.
Atik
memang selalu mengawali harinya setelah jarum jam menunjukan pukul 1 siang. Ia
juga tak pernah keluar kamar sebelum pukul itu, bahkan ia juga pulang pukul 1
pagi, ia tak pernah bertatap muka dengan perempuan tua yang telah mengandung
dan merawatnya sampai ia besar. Atik juga selalu memarahi perempuan itu jika
perempuan itu berani mengetuk pintu kamarnya."
"Tik,
kau benar-benar tak ingin keluar kamar? Melihatku
sebentar saja." Atik juga selalu
memarahi perempuan itu jika perempuan itu berani mengetuk pintu kamarnya."
"Tik...Tik"
“Ada apa memangnya? Apakah uang yang kuberikan
kemarin kurang?” ucapnya dengan nada garang.
“Ah
bukan, bukan begitu maksudku Tik, hanya saja aku sangat merindukanmu, kita
sudah hampir satu tahun seperti ini, apakah kau masih marah karena kejadian
waktu itu? Uangmu sangat cukup untukku, aku berterima kasih banyak namun aku
hanya ingin kau memberikannya langsung kepadaku, aku hanya ingin melihatmu Tik. Kita bahkan tinggal satu atap.” Derunya
dengan berkaca-kaca.
Hanya
dengkuran yang terdengar di balik kamar Atik, ibunya mengelus dada dan hanya
menangis sambil memegangi dahan pintu, tangisnya pun hanya menyala dalam diam,
dia tak pernah berani mengganggu tidur Atik.
“Aku
tahu kejadian setahun yang lalu pasti sangat membuat kecewa Atik, aku tahu,tapi
aku harus bagaimana semuanya telah
terjadi. Aku sungguh ingin melihatnya
namun bahkan saat ia memberiku uang ia hanya menaruhnya di depan pintunya, ia
akan marah bukan kepalang jika uang itu tidak aku ambil, sungguh aku tahu dia
masih sangat menyayangiku,” ucapnya
dengan pasrah penuh penyesalan.
***
Keesokan
harinya sang ibu telah bertekad untuk melihat wajah Atik entah bagaiamana
caranya, ia begitu rindu dengan anak
sulungnya. Ia pernah melakukan ini sebelumnya namun Atik memarahinya dan mengancam akan pergi
jauh jika sampai hal itu terulang lagi.
“
Aku akan memohon seperti dulu lagi jika dia benar-benar marah padaku, aku tidak
takut , aku hanya ingin melihatnya, aku ingin bersujud dihadapannya dan meminta
maaf.”
Setelah
membersihkan rumah dan memasak seperti biasa, ia berangkat berdagang, ia sudah
berencana akan menunggu Atik nanti
malam, ia akan pura-pura tidur di ruang tamu
sambil memakai kacamata hitam ,
ia akan beralasan bahwa matanya sedang sakit dan bengkak.
“,,,lalu kemudian aku akan lari ke arah
kakinya dan bersujud di kakinya untuk meminta maaf , entah aku akan di tending
atau diapakan setelah itu, aku tidak peduli.” sahutnya
dengan tekad bulat.
Hari
itu sang ibu pulang lebih awal, ia tak peduli dengan dagangannya , dalam
keadaannya yang semakin tua ia juga sering batuk-batuk, kakinya yang tertusuk
batang pohon setahun yang lalu ia
biarkan meradang kesakitan setiap waktu, ia lebih memilih merasakan itu dari
pada harus mengobatinya.
Saat
itu pula suara dercit pintu yang khas
terdengar , ia segera bergegas berbaring dan pura-pura tertidur. Namun Atik
bukanlah gadis bodoh yang mudah dibohongi. Ia melangkah perlahan demi perlahan
menatap mata ibunya dengan tajam, sang ibu bahkan ketakutan karena ia bisa melihat dari kacamata hitamnya. Atik semakin mendekat, dan membuat
jantung ibunya berdebar 2 kali lebih
keras.
”Atik…”
“Ada
apa bu?, ibu takut?” sambil berjalan memojokkan ibunya di kursi.
“Kalau
ibu takut kenapa terus ibu ulangi? Aku sudah bilang berkali-kali jangan
melakukan hal bodoh ini, kalau ibu rindu
pikirkan saja kesalahan ibu, apa yang telah ibu lakukan untuk anak-anak ibu?”
tambahnya dengan ketus
Sambil
tertati-tati menjawab, suara ibu
itu bergetar tak karuan “ibu sudah
melakukan itu selama setahun belakangan ini tik, ibu harus bagaiamana
lagi? Harus kutebus dengan cara apa dan
bagaimana tik , kau bahkan tak menjelaskannnya pada ibu dan justru mengurung
diri serta tak mau melihatku.”
Atik
memandang ibunya dengan amarah yang meluap-luap, ia bahkan sanggup membanting
vas bunga di depan ibunya, pecahan kaca beling mengenai kaki ibunya yang
sebenarnya sakit, ia berjalan lebih dekat kepada ibunya “ aku tidak takut
dianggap sebagai anak yang durhaka, ini cukup membuatku puas melihat ibu menanggung
akibat perbuatan ibu sendiri !!! bukankah masih beruntung aku masih menangung
beban hidupmu, memberimu uang dan tinggal satu atap dengan ibu yang pemberani
sepertimu.”
Ibunya
menangis tersedu-sedu , ia tak menyangka putri sulungnya mampu berucap
demikian, ibu itu tertunduk menyesal dan menangis seraya memanggil nama
putrinya untuk meredam amarahnya “ atik… tik…. Maafkan ibu”
Atik
menunduk dan berkata lirih pada ibunya , ia duduk disebelah perempuan tua itu,
sambil memandangi kerutan wajah yang setahun ini ia abaikan ia perlahan melepas
kacamata yang bergantung di hidung dan telinga orang tuanya.
“Bagaimana Atik bisa lupa kejadian setahun
yang lalu bu?, kejadian yang merenggut nyawa
bungsu, longsor itu aku juga tau itu melukai kaki ibu, tapi anehnya ibu
memilih menyelamatkan nyawa tetangga kita yang bahkan kita tidak dekat
dengannya, anak itu setiap hari menjelek-jelekkan bungsu dan aku bu, mencela
bagaimana hidup kita tanpa seorang ayah, namun ibu memilih hidupnya tetap hadir merenggut kebahagiaan kita”
“Ibu
tidak memilihnya tik, ibu …”
Kalimatnya
terpotong sesaat atik mengalihkan mukanya dari hadapannya,
“sudah,
aku ingin pergi dari rumah ini, sudah cukup aku menemani seorang ibu yang
pemberani untuk mengorbankan anaknya” sahutnya dengan bergegas menuju kamar
“
Haruskah ibu bunuh anak yang telah ibu selamatkan? “
Suasana sunyi seketika, tak ada
suara yang semenjak tadi
bersahut-sahutan, semuanya diam memikirkan kekonyolan yang saat ini sedang
mereka hadapi, serba salah dan kikuk menyergap Atik, ia serasa hendak membalik
badan dan memeluk ibunya, ingin mengucap jangan dan mari bermaafan, tapi sisi
hatinya yang lain ia memandang wajah
bungsu, ia hendak memperjuangkan keadilan atas haknya sebagai anak yang telah
ibunya rampas.
Sang ibu juga bingung, ingin
rasanya ia menelan kembali kalimat yang telah terlontar dengan lugunya. Ia
memandang nanar tengkuk leher putrinya, baginya itu sudah cukup mengobati
rindunya, meski wajahnya bahkan tak bisa ia sambangi dengan leluasa, hanya
sorot mata putrinya yang tajam yang baru saja menusuk kerongongannya sehingga
ia tak mampu berbicara banyak.
“Jangan pernah tanya kepadaku
lagi!” ucapnya dengan ketus, sambil berjalan menuju kamarnya, ia menutup dengan
keras dahan pintu.
***
Keesokan harinya Atik telah
minggat, pintu kamarnya terbuka lebar-lebar, segala benda masih di dalam
kamarnya tapi baju di lemarinya telah ludes di bawanya. Sang ibu segera
mengetahuinya namun ia tak bisa melakukan apa-apa hanya menangis dan menyesal
telah berbuat nekat untuk menemui putrinya.
Masuklah ia ke kamar itu, ia
linglung dan lemas disergap berbagai rasa penyesalan, ia hendak mencarinya
namun ia bingung hendak mencarinya ke mana, segala tempat yang ia duga menjadi
tempat tujuan atik terasa jauh olehnya, sedangkan ia melihat kakinya yang mulai
rapuh dan harus segera diobati dan diamputasi, namun ia membiarkannnya sebagai
pembalasan utang untuk atik. Ia akan merasa tidak adil jika hidup dengan damai
dan sehat sentosa sedangkan ia telah membuat anaknya jatuh di tanah longsor
itu. Bahkan atik tak bisa memaafkannya maka ia memutuskan untuk memperparah
azab dari Tuhan.
Ia memandangi langit-langit
kamar, ia tatap tajam foto anak-anaknya dan menaruh amplop dengan isi uang yang
banyak di meja rias anaknya. Dengan selembar
kertas hasil perenungannya tadi malam. Sesaat setelah itu ia bergegas
berkemas untuk berdagang. ia enggan
memakai uang dari atik untuk mencari atik maka ia telah memutuskan untuk
mencari uang lebih banyak dari berdagang, baru setelah terkumpul ia akan
mencari atik.
Ia membuka pintu rumahnya tanpa
menguncinya siapa tahu atik akan kembali pikirnya. Ia berjalan dengan
sempoyongan karena kaki kanannya tak sempurna menopang tubuhnya, ia berjalan
dengan ayunan kesakitan. Atik memandangnya dari kejauhan, dari balik tembok
rumah tetangganya. Pernah terlintas di pikirnya mengapa cara berjalan ibunya
berubah. Namun ia tak berniat memikirkannya lebih jauh yang ia pikirkan adalah
kenapa ibunya tidak mencarinya dan berbagai sergapan pertanyaan yang ia
ciptakan sendiri dan kekesalan yang ia ciptakan sendiri.
Setelah sang ibu sampai di pasar
ia melihat tatapan yang ketus mengarah
pada dirinya, ia tak tahu mengapa semua
orang bahkan rekan dekatnya memandangnya dengan tatapan yang seolah membenci,
mengumpat bahkan menyalahkan. Namun bagaimanapun ia memilih tak menghiraukan
itu ia berjalan lurus saja dengan langkahnya yang pincang ke tempat ia
berjualan.
“Minah, kenapa semua orang
memandangku dengan seperti itu, kau juga, apakah aku melakukan kesalahan kepada
kalian? Ataukah karena aku belum membayar biaya keamanan? ataukah … ada apa
dengan kalian?” tanyanya dengan cemas harap.
“Aku
tak menyangka kau seperti itu?”
“Ada
apa sebenarnya tolong ceritakan padaku.”
“Begini,
dengarkan saja guncingan mereka, baru aku akan bertanya padamu.”
Guncingan terasa semakin kencang
dan memenuhi sudut pasar “benar dia membunuh anaknya?, benar dia menyelamatkan
hidupnya sendiri? Egois benar dia, kejam, pantaskah seorang ibu begitu, pantas
aku tak melihat anaknya yang satu, anaknya kemana sekarang? Apakah dia juga
membunuhnya”
Guncingan memenuhi telinganya
yang memerah yang kemudian ia tutup dan ia hendak berteriak
sekencang-kencangnya, namun ia tahan karena ia tahu bahwa guncingan itu ada
benarnya. Ia menangis dan ketakutan. Minah teman dekatnya menghampirinya dan
memeluknya.
“Aku tak tahu apakah ini benar,
tapi aku mempercayaimu, Dalilah yang menceritakan ini semua, ia mengaku
mendengar pertengkaran hebat dirimu dan anakmu tadi malam, ia juga melihat bahwa
atik minggat, kau harus tahu Dalilah pernah berseteru denganmu, aku bingung
apakah aku harus percaya atau tidak sedangkan aku juga tak pernah melihat Atik
semenjak kejadian itu.”
“Kau berhak untuk percaya nah,
aku tidak melarangmu, aku takut jika kejadiannya memang seperti itu,” ia
melemparkan jawaban aneh dan membuat temannya semakin bingung.
***
Hari berlalu, keadaan ekonominya
semakin terpuruk, dagangannya tak laku sedikipun, ini karena orang-orang di
pasar menyebarkan kabar tersebut begitu
cepat, semua orang bersekutu untuk memusuhinya, perempuan tua itu hanya bisa
pasrah dan memutar otak bagaiamana caranya untuk mendapatkan uang dan bisa
mencari atik. Ia tetap berdagang dengan sabar dan tidak peduli dengan ocehan di
sekitarnya.
Lambat laun atik mendengar kabar
dari pasar. Ia kasihan pula pada ibunya tapi hendak bagaimana, pikirannya tetap memintanya untuk
kesal pada ibunya, karena ibunya tidak mencarinya. Sudah 7 hari ia menunggu.
Setiap pagi ia melihat dari kejauhan saat ibunya berangkat menuju pasar. ia juga penasarannya mengapa kaki ibunya bisa
seperti itu, ia kemudian berpikir saat longsor itu memang kakinya terkena kayu
hingga ia melepaskan bungsu tapi tidak mungkin jika sampai sekaranng kaki itu
belum diobati. Semua pertanyaan dari hatinya ia abaikan dan berujung pada
kekesalan.
Bagaimanapun
sang ibu tetap mencari jalan untuk mendapat uang, ia bahkan ingin meminjam
kepada teman-teman sesama pedagang namun mereka sudah tidak mempercayainya.
Maka ia hanya memandang satu orang, yaitu satu-satunya kawan sejak dia mulai
berumah tangga.
“Minah boleh aku pinjam uangmu?”
pintanya di sela-sela berdagang.untuk apa?”
“Untuk mencari atik, bagaimanapun
dia tetap anakku, hatiku gusar setiap kali memikirkannya.”
“Memangnya
kau tahu dia di mana?”
“Tidak tahu, tapi aku ingin
mencarinya di Delangu tempat dia bekerja
atau di rumah mertuaku.”
“Kalau untuk delangu aku tidak masalah,
tapi di rumah mertuamu butuh sehari perjalanan untuk ke sana , apa kau yakin?”
“Mengapa tidak?”
“Tapi kakimu?”
“Kakiku ini sudah terluka sejak
setahun yang lalu, tapi aku masih sehat sampai sekarang. Seharusnya kau
khawatir mengenai biayaku ke sana”
“Baiklah asalkan setelah kau
jumpa dengan atik kau menceritakan kepadaku mengenai semuanya yang terjadi, kau
harus ingat aku yang meminjamimu uang.”
Tanpa basi-basi dan menunggu hari
esok, sang ibu bergegas mencarinya ke Delangu, semua itu ia tempuh dengan cemas
dan penuh harap. Butuh waktu 1-2 jam
untuk dapat sampai ke sana.
Setelah sampai di tempat kerja
atik, harapannya pupus, ia mulai merasa lelah yang teramat sangat, atik telah
keluar dari pekerjaannya sejak pertengkaran itu, ia bingung hendak mencari ke
mana. Ia bahkan tak mengenal satupun teman anaknya, apalagi saudaranya,
hubungan mereka sudah terputus dan kacau sejak atik masih kecil. Satu-satunya
harapan adalah ke rumah mertuanya atau makam bungsu dan ayahnya
“Jika ke makam mereka berarti aku
harus kembali” gumamnya sejenak.
***
“Aku
heran dengan perempuan itu, benarkah dia tidak mencariku?” gerutunya dengan
kesal
Sambil menunggu ibunya pulang dari
pasar ia mengendap-endap ke rumahnya sendiri, ia butuh istirahat karena sudah
beberapa hari ini ia hanya memantau ibunya dari kejauhan. Ia tidak punya tempat
untuk ia singgahi kecuali rumahnya sendiri. Barang-barangnya bahkan ia
sembunyikan di kamarnya sendiri tapi ibunya tak mengetahuinya.
Hari
itu cuaca sangat panas, beruntung di rumahnya ada kipas angina, ia bisa sejenak
beristirahat karena biasanya ibunya pulang setelah pukul 3 sore. Setelah masuk
ke dalam rumah yang sudah 7 hari tidak ia masuki, ia bergumam dengan payah.
Dari karena rumah berantakan, lampu tidak dimatikan, dan yang lebih parah ibunya
tidak memasak. Padahal ia sudah lapar bukan main. Namun dari pada memasak ia
lebih memilih tidur di kamarnya. Ia memandangi kamarnya, satu-satunya tempat
yang bisa mengerti dirinya. Namun di meja riasnya tampak ia melihat sesuatu
yang baru, sesuatu yang tak pernah ia letakkan bahkan tak pernah ia lihat.
Tumpukan
amplop dan kertas di dalamnya, ia perlahan duduk dan memeriksa isinya, ia
terkejut karena ada banyak sekali uang. Kemudian ia hendak memeriksa kertas
dengan coretan pena yang tidak asing baginya, ia buka perlahan.
Atik ,
Bukankah bencana
alam adalah kehendak Tuhan?
Ketika uluran
tanganku tak sampai kepada bungsu bukankah itu juga rencana Tuhan?
Aku tak bermaksud
menolong tetangga kita dan membiarkan bungsu terjatuh. Aku juga menyesal tapi
semua itu adalah ketidaksengajaan. Saat itu aku mengulurkan tangan untuk bungsu
tiba-tiba tangan anak tetangga kita meraih tanganku, bayangkan apa yang harus
kulakukan saat itu? Melepaskannya atau menariknya? Tapi aku bodoh telah memilih menarik tangan
itu, namun saat aku ingin kembali bungsu tak lagi ada dalam pandanganku.
Bagaimanapun Tuhan
telah menetapkan hal penting yakni tetap menyelamatkan kita berdua,
Tuhan tidak
menyelamatkan kau seorang jua atau diriku seorang jua, tapi kau marah atas hal
itu karena aku tak bisa menarik tangan si bungsu, bukankah aku sudah sering
bilang sebelum kau bermain, jangan bermain di tanah itu, itu rawan tapi kau
melawan atas dasar menyenangkan. Aku tak akan menyalahkan keputusanmu saat itu
karena itu adalah bagian jiwa anak-anak yang berhak kau miliki.
Aku juga hanya akan
menyalahkan diriku seperti dirimu, aku adalah perempuan tua yang bodoh , yang
tidak dapat menjaga kedua putrinya, aku justru lebih memilih menyelamatkan
kakiku dari pada bungsu dan aku telah menerima karma selama setahun belakangan
ini.
Terima kasih telah
memberiku uang dan membentakku saat sakit meski kau hanya berbicara di balik
dinding, itu sangat menyenangkan,
Tapi semua kini
telah berakhir, ini saatnya aku menebus dosa-dosa yang kuperbuat.
Kakiku belum sempat
diamputasi dan kini telah menjalar di seluruh tubuhku,aku tidak tahu apa yang
akan terjadi padaku semoga nyawa yang
terlepas ini bisa menggantikan perginya
bungsu dan meredam amarahmu. Selamat tinggal gadis yang keras kepala, semoga
setelah ini engkau tidak marah lagi kepadaku.
Dalam
jeritan tangis dan penyesalan, Atik tak bisa berucap apa-apa, pelupuk matanya
mulai dipenuhi air sendu yang menetes tiap butirnya. Semua kesalahpahaman ini
tentu bisa diluruskan sejak dulu bila dirinya sedikit saja mau mendengar penjelasan ibunya. Ia berpikir
sejenak dan sesegera mungkin bangkit menuju pasar untuk bertemu dan meminta
maaf pada ibunya.
Namun
sebelum ia sampai ke pintu depan, deru suara ambulans telah menghadang
langkahnya, kakinya gemetar dan pikirannya kacau tak terarah. Segala daya yang
ada dalam tubuhnya seperti hilang seketika, ia hendak memberontak suasana
mencekam ini, ia hendak melawan nasib, ia hendak menghadapi suatu keadaan yang
baik-baik saja, ia hendak menyetir kepalanya untuk berhenti berpikir yang
tidak-tidak. Ia ingin menghentikan segalanya.
Tapi
keadaan memang benar-benar lain. Lain dari pikiran Atik. Lain dari harapan Atik.
Tak ada suara yang terdengar bahkan tangisan sekalipun, semua bungkam, pita
suara telah dicekal oleh penyesalan. Hanya air mata yang berbicara “semua sudah
terlambat”.
Surakarta di waktu senja , 12 Agustus 2017
Terima
kasih telah membaca. Untuk kritik dan saran, saya ingin meminta pendapat kawan-kawan
nih J
- Bagaimana menurut kalian akhir dari cerita ini?
- Secara keseluruhan apa yang harus diperbaiki?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar