Sabtu, 12 Agustus 2017



“Karma”
"Pagi-pagi jangan tiduran nduk!" Sambil membenarkan posisinya tidurnya,  Atik mendengarkan lamat-lamat.
"Ah bukan urusanmu," sambil menutup pintu kamar dengan kakinya yang menjulur ke dahan pintu.
Atik memang selalu mengawali harinya setelah jarum jam menunjukan pukul 1 siang. Ia juga tak pernah keluar kamar sebelum pukul itu, bahkan ia juga pulang pukul 1 pagi, ia tak pernah bertatap muka dengan perempuan tua yang telah mengandung dan merawatnya sampai ia besar. Atik juga selalu memarahi perempuan itu jika perempuan itu berani mengetuk pintu kamarnya."  
"Tik, kau benar-benar tak ingin keluar kamar?  Melihatku sebentar saja."  Atik juga selalu memarahi perempuan itu jika perempuan itu berani mengetuk pintu kamarnya."
"Tik...Tik"
 “Ada apa memangnya? Apakah uang yang kuberikan kemarin kurang?” ucapnya dengan nada garang.
“Ah bukan, bukan begitu maksudku Tik, hanya saja aku sangat merindukanmu, kita sudah hampir satu tahun seperti ini, apakah kau masih marah karena kejadian waktu itu? Uangmu sangat cukup untukku, aku berterima kasih banyak namun aku hanya ingin kau memberikannya langsung kepadaku, aku hanya ingin melihatmu  Tik. Kita bahkan tinggal satu atap.” Derunya dengan berkaca-kaca.
Hanya dengkuran yang terdengar di balik kamar Atik, ibunya mengelus dada dan hanya menangis sambil memegangi dahan pintu, tangisnya pun hanya menyala dalam diam, dia tak pernah berani mengganggu  tidur Atik.
“Aku tahu kejadian setahun yang lalu pasti sangat membuat kecewa Atik, aku tahu,tapi aku harus bagaimana  semuanya telah terjadi.  Aku sungguh ingin melihatnya namun bahkan saat ia memberiku uang ia hanya menaruhnya di depan pintunya, ia akan marah bukan kepalang jika uang itu tidak aku ambil, sungguh aku tahu dia masih sangat menyayangiku,”  ucapnya dengan pasrah penuh penyesalan.
***
Keesokan harinya sang ibu telah bertekad untuk melihat wajah Atik entah bagaiamana caranya, ia begitu rindu dengan  anak sulungnya. Ia pernah melakukan ini sebelumnya namun  Atik memarahinya dan mengancam akan pergi jauh jika sampai hal itu terulang lagi.
“ Aku akan memohon seperti dulu lagi jika dia benar-benar marah padaku, aku tidak takut , aku hanya ingin melihatnya, aku ingin bersujud dihadapannya dan meminta maaf.”
Setelah membersihkan rumah dan memasak seperti biasa,  ia berangkat berdagang, ia sudah berencana  akan menunggu Atik nanti malam, ia akan pura-pura tidur di ruang tamu  sambil memakai  kacamata hitam , ia akan beralasan bahwa matanya sedang sakit dan bengkak.
 “,,,lalu kemudian aku akan lari ke arah kakinya dan bersujud di kakinya untuk meminta maaf , entah aku akan di tending atau diapakan setelah itu, aku tidak peduli.”  sahutnya  dengan tekad bulat.
Hari itu sang ibu pulang lebih awal, ia tak peduli dengan dagangannya , dalam keadaannya yang semakin tua ia juga sering batuk-batuk, kakinya  yang tertusuk  batang pohon  setahun yang lalu ia biarkan meradang kesakitan setiap waktu, ia lebih memilih merasakan itu dari pada harus mengobatinya.
Saat itu pula suara dercit pintu yang khas  terdengar , ia segera bergegas berbaring dan pura-pura tertidur. Namun Atik bukanlah gadis bodoh yang mudah dibohongi. Ia melangkah perlahan demi perlahan menatap mata ibunya dengan tajam, sang ibu bahkan ketakutan karena ia bisa  melihat dari kacamata hitamnya.  Atik semakin mendekat, dan membuat jantung  ibunya berdebar 2 kali lebih keras.
”Atik…”
“Ada apa bu?, ibu takut?” sambil berjalan memojokkan ibunya di kursi.
“Kalau ibu takut kenapa terus ibu ulangi? Aku sudah bilang berkali-kali jangan melakukan hal bodoh ini, kalau ibu  rindu pikirkan saja kesalahan ibu, apa yang telah ibu lakukan untuk anak-anak ibu?” tambahnya dengan ketus
Sambil tertati-tati menjawab,  suara ibu itu  bergetar tak karuan “ibu sudah melakukan itu selama setahun belakangan ini tik, ibu harus bagaiamana lagi?  Harus kutebus dengan cara apa dan bagaimana tik , kau bahkan tak menjelaskannnya pada ibu dan justru mengurung diri serta tak mau melihatku.” 
Atik memandang ibunya dengan amarah yang meluap-luap, ia bahkan sanggup membanting vas bunga di depan ibunya, pecahan kaca beling mengenai kaki ibunya yang sebenarnya sakit, ia berjalan lebih dekat kepada ibunya “ aku tidak takut dianggap sebagai anak yang durhaka, ini cukup membuatku puas melihat ibu menanggung akibat perbuatan ibu sendiri !!! bukankah masih beruntung aku masih menangung beban hidupmu, memberimu uang dan tinggal satu atap dengan ibu yang pemberani sepertimu.”
Ibunya menangis tersedu-sedu , ia tak menyangka putri sulungnya mampu berucap demikian, ibu itu tertunduk menyesal dan menangis seraya memanggil nama putrinya untuk meredam amarahnya “ atik… tik…. Maafkan ibu”
Atik menunduk dan berkata lirih pada ibunya , ia duduk disebelah perempuan tua itu, sambil memandangi kerutan wajah yang setahun ini ia abaikan ia perlahan melepas kacamata yang bergantung di hidung dan telinga orang tuanya.
  “Bagaimana Atik bisa lupa kejadian setahun yang lalu bu?, kejadian yang merenggut nyawa  bungsu, longsor itu aku juga tau itu melukai kaki ibu, tapi anehnya ibu memilih menyelamatkan nyawa tetangga kita yang bahkan kita tidak dekat dengannya, anak itu setiap hari menjelek-jelekkan bungsu dan aku bu, mencela bagaimana hidup kita tanpa seorang ayah, namun ibu memilih hidupnya tetap  hadir merenggut kebahagiaan kita”
“Ibu tidak memilihnya tik, ibu …”
Kalimatnya terpotong sesaat atik mengalihkan mukanya dari hadapannya,
“sudah, aku ingin pergi dari rumah ini, sudah cukup aku menemani seorang ibu yang pemberani untuk mengorbankan anaknya” sahutnya dengan bergegas menuju kamar
“ Haruskah ibu bunuh anak yang telah ibu selamatkan? “
Suasana sunyi seketika, tak ada suara yang semenjak  tadi bersahut-sahutan, semuanya diam memikirkan kekonyolan yang saat ini sedang mereka hadapi, serba salah dan kikuk menyergap Atik, ia serasa hendak membalik badan dan memeluk ibunya, ingin mengucap jangan dan mari bermaafan, tapi sisi hatinya yang lain ia  memandang wajah bungsu, ia hendak memperjuangkan keadilan atas haknya sebagai anak yang telah ibunya rampas.
Sang ibu juga bingung, ingin rasanya ia menelan kembali kalimat yang telah terlontar dengan lugunya. Ia memandang nanar tengkuk leher putrinya, baginya itu sudah cukup mengobati rindunya, meski wajahnya bahkan tak bisa ia sambangi dengan leluasa, hanya sorot mata putrinya yang tajam yang baru saja menusuk kerongongannya sehingga ia tak mampu berbicara banyak.
“Jangan pernah tanya kepadaku lagi!” ucapnya dengan ketus, sambil berjalan menuju kamarnya, ia menutup dengan keras dahan pintu.
***
Keesokan harinya Atik telah minggat, pintu kamarnya terbuka lebar-lebar, segala benda masih di dalam kamarnya tapi baju di lemarinya telah ludes di bawanya. Sang ibu segera mengetahuinya namun ia tak bisa melakukan apa-apa hanya menangis dan menyesal telah berbuat nekat untuk menemui putrinya.
Masuklah ia ke kamar itu, ia linglung dan lemas disergap berbagai rasa penyesalan, ia hendak mencarinya namun ia bingung hendak mencarinya ke mana, segala tempat yang ia duga menjadi tempat tujuan atik terasa jauh olehnya, sedangkan ia melihat kakinya yang mulai rapuh dan harus segera diobati dan diamputasi, namun ia membiarkannnya sebagai pembalasan utang untuk atik. Ia akan merasa tidak adil jika hidup dengan damai dan sehat sentosa sedangkan ia telah membuat anaknya jatuh di tanah longsor itu. Bahkan atik tak bisa memaafkannya maka ia memutuskan untuk memperparah azab dari Tuhan.
Ia memandangi langit-langit kamar, ia tatap tajam foto anak-anaknya dan menaruh amplop dengan isi uang yang banyak di meja rias anaknya. Dengan selembar  kertas hasil perenungannya tadi malam. Sesaat setelah itu ia bergegas berkemas untuk berdagang.  ia enggan memakai uang dari atik untuk mencari atik maka ia telah memutuskan untuk mencari uang lebih banyak dari berdagang, baru setelah terkumpul ia akan mencari atik.
Ia membuka pintu rumahnya tanpa menguncinya siapa tahu atik akan kembali pikirnya. Ia berjalan dengan sempoyongan karena kaki kanannya tak sempurna menopang tubuhnya, ia berjalan dengan ayunan kesakitan. Atik memandangnya dari kejauhan, dari balik tembok rumah tetangganya. Pernah terlintas di pikirnya mengapa cara berjalan ibunya berubah. Namun ia tak berniat memikirkannya lebih jauh yang ia pikirkan adalah kenapa ibunya tidak mencarinya dan berbagai sergapan pertanyaan yang ia ciptakan sendiri dan kekesalan yang ia ciptakan sendiri.


Setelah sang ibu sampai di pasar ia melihat tatapan yang ketus  mengarah pada dirinya, ia tak tahu mengapa  semua orang bahkan rekan dekatnya memandangnya dengan tatapan yang seolah membenci, mengumpat bahkan menyalahkan. Namun bagaimanapun ia memilih tak menghiraukan itu ia berjalan lurus saja dengan langkahnya yang pincang ke tempat ia berjualan.
“Minah, kenapa semua orang memandangku dengan seperti itu, kau juga, apakah aku melakukan kesalahan kepada kalian? Ataukah karena aku belum membayar biaya keamanan? ataukah … ada apa dengan kalian?” tanyanya dengan cemas harap.
“Aku tak menyangka kau seperti itu?”
“Ada apa sebenarnya tolong ceritakan padaku.”
“Begini, dengarkan saja guncingan mereka, baru aku akan bertanya padamu.”
Guncingan terasa semakin kencang dan memenuhi sudut pasar “benar dia membunuh anaknya?, benar dia menyelamatkan hidupnya sendiri? Egois benar dia, kejam, pantaskah seorang ibu begitu, pantas aku tak melihat anaknya yang satu, anaknya kemana sekarang? Apakah dia juga membunuhnya”
Guncingan memenuhi telinganya yang memerah yang kemudian ia tutup dan ia hendak berteriak sekencang-kencangnya, namun ia tahan karena ia tahu bahwa guncingan itu ada benarnya. Ia menangis dan ketakutan. Minah teman dekatnya menghampirinya dan memeluknya.
“Aku tak tahu apakah ini benar, tapi aku mempercayaimu, Dalilah yang menceritakan ini semua, ia mengaku mendengar pertengkaran hebat dirimu dan anakmu tadi malam, ia juga melihat bahwa atik minggat, kau harus tahu Dalilah pernah berseteru denganmu, aku bingung apakah aku harus percaya atau tidak sedangkan aku juga tak pernah melihat Atik semenjak kejadian itu.”
“Kau berhak untuk percaya nah, aku tidak melarangmu, aku takut jika kejadiannya memang seperti itu,” ia melemparkan jawaban aneh dan membuat temannya semakin bingung.

***
Hari berlalu, keadaan ekonominya semakin terpuruk, dagangannya tak laku sedikipun, ini karena orang-orang di pasar menyebarkan kabar tersebut  begitu cepat, semua orang bersekutu untuk memusuhinya, perempuan tua itu hanya bisa pasrah dan memutar otak bagaiamana caranya untuk mendapatkan uang dan bisa mencari atik. Ia tetap berdagang dengan sabar dan tidak peduli dengan ocehan di sekitarnya.
Lambat laun atik mendengar kabar dari pasar. Ia kasihan pula pada ibunya tapi hendak  bagaimana, pikirannya tetap memintanya untuk kesal pada ibunya, karena ibunya tidak mencarinya. Sudah 7 hari ia menunggu. Setiap pagi ia melihat dari kejauhan saat ibunya berangkat menuju pasar.  ia juga penasarannya mengapa kaki ibunya bisa seperti itu, ia kemudian berpikir saat longsor itu memang kakinya terkena kayu hingga ia melepaskan bungsu tapi tidak mungkin jika sampai sekaranng kaki itu belum diobati. Semua pertanyaan dari hatinya ia abaikan dan berujung pada kekesalan.

Bagaimanapun sang ibu tetap mencari jalan untuk mendapat uang, ia bahkan ingin meminjam kepada teman-teman sesama pedagang namun mereka sudah tidak mempercayainya. Maka ia hanya memandang satu orang, yaitu satu-satunya kawan sejak dia mulai berumah tangga.
“Minah boleh aku pinjam uangmu?” pintanya di sela-sela berdagang.untuk apa?”
“Untuk mencari atik, bagaimanapun dia tetap anakku, hatiku gusar setiap kali memikirkannya.”
            “Memangnya kau tahu dia di mana?”
“Tidak tahu, tapi aku ingin mencarinya di Delangu  tempat dia bekerja atau di rumah mertuaku.”
“Kalau untuk delangu aku tidak masalah, tapi di rumah mertuamu butuh sehari perjalanan untuk ke sana , apa kau yakin?”
“Mengapa tidak?”
“Tapi kakimu?”
“Kakiku ini sudah terluka sejak setahun yang lalu, tapi aku masih sehat sampai sekarang. Seharusnya kau khawatir mengenai biayaku ke sana”
“Baiklah asalkan setelah kau jumpa dengan atik kau menceritakan kepadaku mengenai semuanya yang terjadi, kau harus ingat aku yang meminjamimu uang.”
Tanpa basi-basi dan menunggu hari esok, sang ibu bergegas mencarinya ke Delangu, semua itu ia tempuh dengan cemas dan penuh harap.  Butuh waktu 1-2 jam untuk dapat sampai ke sana.
Setelah sampai di tempat kerja atik, harapannya pupus, ia mulai merasa lelah yang teramat sangat, atik telah keluar dari pekerjaannya sejak pertengkaran itu, ia bingung hendak mencari ke mana. Ia bahkan tak mengenal satupun teman anaknya, apalagi saudaranya, hubungan mereka sudah terputus dan kacau sejak atik masih kecil. Satu-satunya harapan adalah ke rumah mertuanya atau makam bungsu dan ayahnya
“Jika ke makam mereka berarti aku harus kembali” gumamnya sejenak.
***
“Aku heran dengan perempuan itu, benarkah dia tidak mencariku?” gerutunya dengan kesal
            Sambil menunggu ibunya pulang dari pasar ia mengendap-endap ke rumahnya sendiri, ia butuh istirahat karena sudah beberapa hari ini ia hanya memantau ibunya dari kejauhan. Ia tidak punya tempat untuk ia singgahi kecuali rumahnya sendiri. Barang-barangnya bahkan ia sembunyikan di kamarnya sendiri tapi ibunya tak mengetahuinya.

Hari itu cuaca sangat panas, beruntung di rumahnya ada kipas angina, ia bisa sejenak beristirahat karena biasanya ibunya pulang setelah pukul 3 sore. Setelah masuk ke dalam rumah yang sudah 7 hari tidak ia masuki, ia bergumam dengan payah. Dari karena rumah berantakan, lampu tidak dimatikan, dan yang lebih parah ibunya tidak memasak. Padahal ia sudah lapar bukan main. Namun dari pada memasak ia lebih memilih tidur di kamarnya. Ia memandangi kamarnya, satu-satunya tempat yang bisa mengerti dirinya. Namun di meja riasnya tampak ia melihat sesuatu yang baru, sesuatu yang tak pernah ia letakkan bahkan tak pernah ia lihat.
Tumpukan amplop dan kertas di dalamnya, ia perlahan duduk dan memeriksa isinya, ia terkejut karena ada banyak sekali uang. Kemudian ia hendak memeriksa kertas dengan coretan pena yang tidak asing baginya, ia buka perlahan.
Atik ,
Bukankah bencana alam adalah kehendak Tuhan?
Ketika uluran tanganku tak sampai kepada bungsu bukankah itu juga rencana Tuhan?
Aku tak bermaksud menolong tetangga kita dan membiarkan bungsu terjatuh. Aku juga menyesal tapi semua itu adalah ketidaksengajaan. Saat itu aku mengulurkan tangan untuk bungsu tiba-tiba tangan anak tetangga kita meraih tanganku, bayangkan apa yang harus kulakukan saat itu? Melepaskannya atau menariknya?  Tapi aku bodoh telah memilih menarik tangan itu, namun saat aku ingin kembali bungsu tak lagi ada dalam pandanganku.
Bagaimanapun Tuhan telah menetapkan hal penting yakni tetap menyelamatkan kita berdua,
Tuhan tidak menyelamatkan kau seorang jua atau diriku seorang jua, tapi kau marah atas hal itu karena aku tak bisa menarik tangan si bungsu, bukankah aku sudah sering bilang sebelum kau bermain, jangan bermain di tanah itu, itu rawan tapi kau melawan atas dasar menyenangkan. Aku tak akan menyalahkan keputusanmu saat itu karena itu adalah bagian jiwa anak-anak yang berhak kau miliki. 
Aku juga hanya akan menyalahkan diriku seperti dirimu, aku adalah perempuan tua yang bodoh , yang tidak dapat menjaga kedua putrinya, aku justru lebih memilih menyelamatkan kakiku dari pada bungsu dan aku telah menerima karma selama setahun belakangan ini.
Terima kasih telah memberiku uang dan membentakku saat sakit meski kau hanya berbicara di balik dinding, itu sangat menyenangkan,
Tapi semua kini telah berakhir, ini saatnya aku menebus dosa-dosa yang kuperbuat.
Kakiku belum sempat diamputasi dan kini telah menjalar di seluruh tubuhku,aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku  semoga nyawa yang terlepas ini bisa  menggantikan perginya bungsu dan meredam amarahmu. Selamat tinggal gadis yang keras kepala, semoga setelah ini engkau tidak marah lagi kepadaku.


Dalam jeritan tangis dan penyesalan, Atik tak bisa berucap apa-apa, pelupuk matanya mulai dipenuhi air sendu yang menetes tiap butirnya. Semua kesalahpahaman ini tentu bisa diluruskan sejak dulu bila dirinya sedikit saja mau  mendengar penjelasan ibunya. Ia berpikir sejenak dan sesegera mungkin bangkit menuju pasar untuk bertemu dan meminta maaf pada ibunya.
Namun sebelum ia sampai ke pintu depan, deru suara ambulans telah menghadang langkahnya, kakinya gemetar dan pikirannya kacau tak terarah. Segala daya yang ada dalam tubuhnya seperti hilang seketika, ia hendak memberontak suasana mencekam ini, ia hendak melawan nasib, ia hendak menghadapi suatu keadaan yang baik-baik saja, ia hendak menyetir kepalanya untuk berhenti berpikir yang tidak-tidak. Ia ingin menghentikan segalanya.
Tapi keadaan memang benar-benar lain. Lain dari pikiran Atik. Lain dari harapan Atik. Tak ada suara yang terdengar bahkan tangisan sekalipun, semua bungkam, pita suara telah dicekal oleh penyesalan. Hanya air mata yang berbicara “semua sudah terlambat”.
Surakarta di waktu senja , 12 Agustus 2017

Terima kasih telah membaca. Untuk kritik dan saran, saya ingin meminta pendapat kawan-kawan nih  J
  1. Bagaimana menurut kalian akhir dari cerita ini?
  2. Secara keseluruhan apa yang harus diperbaiki?












Tidak ada komentar:

Posting Komentar