Sabtu, 16 Desember 2017



Pernikahan Anak, Piye Menurutmu?

Permasalahan yang tak kunjung usai. mati satu tumbuh seribu mungkin kata-kata itu yang cukup absah menggambarkan ranjau-ranjau yang tiap kali tumbuh dan meledak di tanah air tercinta ini. setiap hari ibarat perkambungan moral manusia,  bagaimana tidak lawong  sekarang marak pernikahan anak. bayangkan anak-anak yang masih berusia sangat belia bahkan  mungkin tangan kirinya belum bisa menggappai telinga kanannya sudah kawin. aish tega benar.
Kita memang tidak pernah tahu alasan pasti mengapa umur sebelia itu sudah menikah. alasan pertama mungkin si anak tidak suka masa kanak-kanak . ini hipotesisku saja lo ya. Jangan ngetreil dulu. Karena bisa jadi dalam bayangan anak-anak itu masa kanak-kanak adalah masa tersengsara di dunia disuruh-suruh, dibebani pelajaran sekolah yang aduhai , dikekang dan tidak diberi kebebasan. Seperti kebebasan jajan, main, segala permintaan tidak dikabulkan  dll. itu bisa jadi lo ya.
Oke alasan kedua adalah si anak ini sudah dewasa sebelum waktunya. Hipotesisku masih saja menyudutkan si anak. Di era globalisasi yang sangat menglobal, yang saat ini setiap orang dapat mengakses internet dengan sangat mudah di tambah tidak ada filter yang cukup untuk menjaga anak mengakses konten-konten dewasa sangat memungkinkan anak mencaro tahu bahkan ingin mencoba-coba . Ditambah lagi anak jaman sekarang itu ehm berbeda lo sama anak jaman dulu. Jadi anak jaman dulu itu kalau nakal ya dipukul dan ya terima-terima saja karena memang salah. Kalau sekarang baru disentuh saja polisi langsung datang. Anak jaman now julukan yang dilekatjan pada anak jaman sekarang itu sudah mengenal pacaran, sayang-sayangan dengan lawan jenis sejak dini, sehingga permaianan tradisional yang dulu mnjadi sumber kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki kini tidak ada lagi. Mereka sibuk menoperasikan gawainya dan bermesraan aishh aku sotoy benar. Factor- factor inilah yang mungkin menjadi penyebab mereka hendak buru-buru nikah.
Alasan ketiga yang sering disebut-sebut dalam artikel-artikel itu adalah pernikahan anak adalah jalan untuk menghindari zina. Dalam perspektifku yang ngawur dan nganyeli menghindari zina dengan jalan menikah itu baik, dan sah-sah saja tapi untuk kawula yang sudah dewasa. La kalau anak-anak sudah menikah dengan dalih seperti itu kan wagu. Karena anak-anak itu adalah masa terindah untuk belajar dan bermain sepuasnya. Kalau ingin menghindari zina cukup lepaskan dan lupakan orang yang kamu sukai. Tempuh ilmu dulu untuk bekal di hari tuamu. Sungguh dikau akan menyesal kalau sudah banyak beban macam saya. Eh kok sok bijak
Alasan keempat adalah alasan yang paling nganyeli yaitu dipaksa orang tua untuk memperbaiki ekonomi. Yang seharusnya memperbaiki ekonomi itu ya orang tua, yang sudah berkewajiban mencari nafkah bukan anak. Dalih-dalih semacam itu kupikir adalah jalan mengeksploitasi anak dan itu sangat dikecam.
Saya tahu masalah ekonomi adalah masalah yang hmmm memang. Kadang saat sudah menjelang tanggal tua begitu memang pikirannya jadi ngelantur tapi jangan jadikan anak sebagai tumbal, Indonesia memang kaya dengan masalah-masalah seperti ini tapi pernikahan anak itu bukanlah solusi yang baik, itu adalah solusi yang mengekalkan kebodohan juga kemelaratan. Semoga para orang tua sadar. Dan pemerintah juga membuka telinga. dan aku juga cepat menikah. Eh eh



Kamis, 07 Desember 2017


Surat Kepada Pohon

Sengitnya mata rantai di tempat bernama dunia ini
Setelah hampir menjelang 20 tahun  lamanya
Aku dengan lugu dan polos mengandalkan takdir
Yang dengannya aku bisa secara kebetulan berjumpa denganmu
Itu ilusi dan itu tak sungguh nyata
Itu mimpi dan itu tak benar adanya
Itu gertakan diri dan hanya rasa hampa
Itu keinginan nurani yang tak kan kunjung ada
Kadang saat pulang kerja atau sehabis berkelana di bangku ajar
Dengan penat yang membuat peluh dan air mata bertaburan
Aku mengeluh juga mengumpat padamu
Kau ada tapi kau tak sungguh ada
Dan dalam dunia kaptalis ini
Aku benci cara kerja yang tak senonoh itu
Kau yang membuat semua ada
Dan kau tak bertanggung jawab hingga akhir
Itu penghianatan dan itu penindasan
Namun angin beberapa menit yang lalu
Juga Kejadian demi kejadian  janggal yang kuterima
Aku bisa memutuskan dengan lantang
Bahwa Aku merindukanmu
Dan sebenci apapun aku atas permainan kotor ini
Kau tetap ada dalam darahku
Dan menorehkan titik pada nurani
Bahwa kau tak layak dibenci
Kau tetaplah sebuah  pohon yang melemparkan buahnya ke penjuru seberang
Dan orang tak memahami serta tak pantas mengerti
Ah sudah….
Karena dengan tekun aku memarahi diriku
Kini aku paham garis yang tak boleh kusinggung
Dengan pencarian diri yang samar
Dengan gemontangnya angin yang menerpa
Kini aku berjumpa pada diriku yang baru
Yang sejatinya telah lama ada
Tapi tertutup kabut karena menyalahkanmu
Sudah redam semua kabut itu
Kini sudah redam

*Puisi yang tak berirama manis ini kupersembahkan pada satu-satunya laki-laki yang sungguh ingin kujumpai. Dan yang  kutunggu selama hidupku. Pada bulan desember dan  5 hari sebelum ulang tahunku


Sabtu, 02 Desember 2017



MENGUAK KETERBELAKANGAN MORAL

Judul                : Ronggeng Dukuh Paruk
Penulis             : Ahmad Tohari
Penerbit            : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan           : Kesebelas, (April 2016)
Tebal                : 408 Halaman
ISBN               : 978-979-22-0196-3
           
Menurut Ian Watt (dalam Damono 1978: 3-4) sastra sebagai cerminan kehidupan masyarakat merupakan fungsi sastra untuk merefleksikan kehidupan masyarakat kedalam sastra. Pengarang sebagai salah satu anggota masayarkat yang hidup dan menyaksikan fenomena dalam masyarakat, menuliskan dan mengabarkan pada sejarah, realita-realita yang tersirat dalam sebuah karya sastra. Hal inilah yang membuat Setiap karya sastra yang lahir tak pernah lepas dari masyarakat di mana pengarang itu tumbuh dan menjalani hidupnya.  Baik jenis kaeya sastra yang mengangkat tema lokalitas, true story atau bahkan yang menonjolkan fiksi dan tema-tema kekinian. Salah satunya ada pada karya hebat, dan anak sejarah yang masih menggema Ronggeng Dukuh Paruk, buah tangan pengarang kelahiran tahun 1948, Ahmad Tohari.
Ahmad tohari adalah pengarang asal Banyumas, pada tahun 1980-an sampai tahun 2000-an ia produktif menghasilkan tulisan baik cerpen maupun novel. Ronggeng Dukuh Paruk menjadi salah satu karya yang berhasil ia selesaikan sekitar tahun 1982. Pun masih terdapat karya lain yang menjadi rangkaian seri trilogi novel ini, yaitu Lintang Kemukus Dini Hari (1985) dan Jentera Bianglala (1986). Banyak penghargaan yang telah ia dapatkan, baik dari menjadi pemenang sayembara ,hadiah sastra dan hadiah yayasan buku utama serta karya-karyanya sudah banyak dialihbahasakan dan dialihmediakan menjadi film.
Karya yang mengangkat kisah pergulatan penari ronggeng di Dukuh Paruk ini amat sarat dengan kesatirannya yang lembut dalam menguak tragedi tahun ’60-an namun dengan pemaparan yang khas dengan nuansa alam dan pedesaan. Hal itu terjadi juga pada karya-karya Ahmad tohari yang lain seperti di kaki bukit cibalak “Di sekitar kaki Bukit Cibalak, tenaga kerbau telah digantikan traktor-traktor tangan. Burung-burung kucica yang telah turun temurun mendaulat belukar puyengan itu terpaksa hijrah ke semak-semak kerontang yang menjadi batas antara Bukit Cibalak dan Desa Tanggir di kakinya” Ahmad Tohari (1986: 6).”  Hal ini yang menjadi bukti bahwa karya-karya Ahmad tohari sangat menjunjung nilai lokalitas tanpa mengindahkan kritik terhadap lingkkungan di sekitarnya. Dan hal inilah yang juga menjadi factor bahwa karya-karyanya masih hidup dan digemari lintas generasi.

Nama Dukuh Paruk dipungut Ahmad Tohari sebagai latar terjadinya berbagai fenomena masyarakat, pergulatan sejarah, juga ikon penggambaran masyarakat yang masih terbelakang terlebih dalam memahami hiruk pikuk yang melanda sebuah negara. Alih-alih peduli mereka digambarkan lebih asyik menjaga tradisi dan mendirikan sendiri dunianya, pun dijelaskan luas daerahnya yang kecil dan jumlah penduduk yang tinggal di 23 rumah yang sepertinya menjadi faktor kekompakan mereka dalam mempertahankan adat dan tradisi mereka, mereka tak terusik akan hal-hal berbau politik dan caruk maruknya negeri yang mereka tinggali. Mereka hidup dengan damai tanpa kekhawatiran. “dari tempatnya yang tinggi kedua burung bangau itu melihat Dukuh Paruk sebagai sebuah gerumbul kecil di tengah padang yang amat luas. dengan daerah pemukiman terdekat, Dukuh Paruk hanya dihubungkan oleh jaringam pematang sawah ,hampir dua kilometer panjangnya. Dukuh Paruk kecil dan menyendiri. Dukuh Paruk yang menciptakan kehidupannya sendiri” (hlm. 10).

Selain bercerita tentang lokalitas yang kental Ada konsep keterbelakangan yang disisipkan pula oleh pengarang asal banyumas ini. Hal itu tercermin  pada alur cerita yang dipaparkan, dari berbagai peristiwa  yang ditorehkan serta respon masyarakat Dukuh Paruk  dalam menanggapi laku kehidupan. Cerita  itu bermula saat ronggeng Dukuh Paruk kesepian dan kehilangan jiwanya karena telah 12 tahun lamanya menderita, hidup tanpa ada ronggeng dan segala kecabulannya. Dukuh ini telah  menganggap bahwa ronggeng adalah jati dirinya. “Dukuh Paruk tanpa ronggeng bukanlah Dukuh Paruk “(hlm. 15).  Bahkan mereka rela hidup dalam lingkar kemelaratan asalkan ada ronggeng di tengah-tengah mereka, mereka juga tidak peduli apa yang dipikirkan masyarakat lain tentang mereka  “gambaran tentang Dukuh Paruk dilengkapi dengan ucapan orang luar yang senang berkata misalnya, “jangan mengabadikan kemelaratann seperti orang Dukuh Paruk” atau “hei anak-anak , pergilah mandi. kalau tidak nanti kupingmu mengalir nanah, kakimu kena kudis, seperti anak-anak Dukuh Paruk !” (hlm. 15-16). Ungkapan ini yang dijadikan tolok ukur bahwa saat itu parameter tingkat kemartabatan telah berbeda dengan pandangan Dukuh Paruk terhadap kehidupan,
Dibalik konsepsi kemiskinan dan  keterbelakangan yang dianut Dukuh Paruk , mereka hidup dengan bahagia. bahkan kebahagiaan mereka bertambah manakala muncul tokoh sentral yaitu srintil yang telah  “digadang-gadangkan” sebagai calon ronggeng baru. Namun untuk mengesahkan keronggengannya ia diwajibkan untuk mengikuti tradisi yang diwajibkan Dukuh Paruk yaitu mandi di pekuburan Ki Secamenggala (nenek moyang Dukuh Paruk) dan malam bukak klambu (laki-laki yang dapat menyerahkan uang sesuai yang ditentukan oleh dukun ronggeng berhak mendapatkan keperawanan calon ronggeng).
Sekali lagi garis keterbelakangan itu nampak ketika sebuah keperawanan diperebutkan dan manakala para istri menyerahkan suaminya dan berbangga ketika suaminya terpilih  untuk bukak-klambu dengan calon ronggeng. Rasus sebagai tokoh  penyeimbang kebobrokan moral Dukuh Paruk amat kecewa karena satu-satunya orang yang dijadikan sebagai tempat ia meliat emaknya kini telah berubah dan menjadi milik seluruh masayakat Dukuh Paruk. Tentu srintil yang dimaksud.  ia pergi dan mencari jati diri namun untuk kembali memperbaiki dukuhnya. selama kepergiannya Dukuh Paruk melalui banyak hal. Baik hal baik karena semakin dikenalnya dukuh paruh melalui ronggeng atau malapetaka terbesar yang merajam mental Dukuh Paruk yakni malapetaka politik tahun 1960.
 Selain mengupas keterbelakangan masyarakat saat itu Ahmad Tohari juga memperluas pandangannya dalam novel ini  untuk menyikapi tragedi peristiwa penghancuran partai komunis Indonesia tahun ’60-an. Peristiwa dimulai saat Srintil dan rombongan ronggeng menerima tawaran Bakar (pihak yang diduga kader PKI) untuk mengisi pentas Agustusan di daerah lain, biasanya setiap ronggeng hendak pentas haruslah memasang sesaji di kuburan Ki Secamenggala untuk meminta restu, namun saat itu Bakar melarang melakukan itu saat itulah awal keganjalan dirasakan oleh sesepuh dukuh karena tradisi yang selalu mereka jalani kini tidak dilakukan, dengan perasaan khawatir pentas terus berjalan,  namun di tengah-tengah pentas Bakar menyisipi dengan pidato propaganda, srintil pun bingung, karena melihat Bakar berpidato dengan berapi-api tapi tak jua diambil pusing. Tak sampai disitu Bakar kerap menghasut srintil untuk menemani Bakar melancarkan aksi propagandanya, srintil menolak tapi diancam dan juga dijebak oleh Bakar sehingga tak kuasa menolak.
Lalu hal yang paling mengerikan terjadi di dukuh yang lugu ini, Dukuh Paruk dihadang dan dibakar, entah siapa pelakunya. Puncak penderitaan terjadi ketika Srintil dan salah satu sesepuh ditahan karena diduga sebagai roda penggerak propaganda PKI. Itulah kehancuran Dukuh Paruk yang sesungguhnya. Namun keluguan dan kenaifan mereka tetap terlihat manakala menganggap bahwa peristiwa yang telah menghancurkan jiwa Dukuh Paruk akibat tidak memberi sesaji saat pentas Agustusan di makam Ki Secamenggala, mereka tak menafsirkan bahwa ada permainan politik yang sedang memanfaatkan mereka, mereka pasrah dan menerima nasib begitu saja.
Pandangan yang diberikan pengarang membawa titik terang  bahwa ternyata  masih ada rakyat-rakyat dipelosok sana yang tidak memahami kancah politik yang sedang bergeming, pergulatan yang sebenarnya merugikan mereka sebagai rakyat kecil. Tapi mereka abai dan tak ingin terlibat, yang mereka ingin adalah dunia aman-aman saja sehingga mereka mencari titik kebahagiaan mereka sendiri. Jika kita melihat realita masyarakat sekarang tentu ada kesamaan terlebih di waktu-waktu pemilihan umum, aparat-aparat penggerak suara hitam bertaburan dan rakyat masih dengan tangan terbuka menerima amplop-amplop dan mengindahkan karakter pemimpin yang akan mereka jadikan tempat berlindung. Terlepas dari hal itu karya ini cukup membuka kesadaran kita mengenai arti hidup yang sebenarnya, kita juga tidak diperkenankan untuk abai dan tinggal dalam lingkup kebodohan..

DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat  Pembinaan  dan  Pengembangan  Bahasa,  Departemen  Pendidikan  dan Kebudayaan.
Tohari, Ahmad. 1986. Di Kaki Bukit Cibalak. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Yudiono, K.S. 2003. Ahmad Tohari: Karya dan Dunianya. Jakarta :PT Grasindo.


catatan penulis : tulisan saya tiadalah sempurna,  kritik dan saran sangat saya terima :) untuk kebaikan ke depannya. dukunglah saya yang sedang belajar hiks.