MENGUAK KETERBELAKANGAN MORAL
Judul :
Ronggeng Dukuh Paruk
Penulis :
Ahmad Tohari
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan :
Kesebelas, (April 2016)
Tebal :
408 Halaman
ISBN :
978-979-22-0196-3
Menurut
Ian Watt (dalam Damono 1978: 3-4) sastra sebagai cerminan kehidupan masyarakat
merupakan fungsi sastra untuk merefleksikan kehidupan masyarakat kedalam
sastra. Pengarang
sebagai salah satu anggota masayarkat yang hidup dan menyaksikan fenomena dalam
masyarakat, menuliskan dan mengabarkan pada sejarah, realita-realita yang
tersirat dalam sebuah karya sastra. Hal inilah yang membuat Setiap karya sastra
yang lahir tak pernah lepas dari masyarakat di mana pengarang itu tumbuh dan
menjalani hidupnya. Baik jenis kaeya
sastra yang mengangkat tema lokalitas, true
story atau bahkan yang menonjolkan fiksi dan tema-tema kekinian. Salah
satunya ada pada karya hebat, dan anak sejarah yang masih menggema Ronggeng Dukuh
Paruk, buah tangan pengarang kelahiran tahun 1948, Ahmad Tohari.
Ahmad tohari adalah pengarang asal Banyumas, pada tahun
1980-an sampai tahun 2000-an ia produktif menghasilkan tulisan baik cerpen
maupun novel. Ronggeng Dukuh Paruk menjadi salah satu karya yang berhasil ia
selesaikan sekitar tahun 1982. Pun masih terdapat karya lain yang menjadi
rangkaian seri trilogi novel ini, yaitu Lintang Kemukus Dini Hari (1985) dan
Jentera Bianglala (1986). Banyak penghargaan yang telah ia dapatkan, baik dari
menjadi pemenang sayembara ,hadiah sastra dan hadiah yayasan buku utama serta
karya-karyanya sudah banyak dialihbahasakan dan dialihmediakan menjadi film.
Karya yang mengangkat kisah pergulatan penari ronggeng di Dukuh
Paruk ini amat sarat dengan kesatirannya yang lembut dalam menguak tragedi tahun
’60-an namun dengan pemaparan yang khas dengan nuansa alam dan pedesaan. Hal
itu terjadi juga pada karya-karya Ahmad tohari yang lain seperti di kaki bukit
cibalak “Di sekitar kaki
Bukit Cibalak, tenaga kerbau telah
digantikan traktor-traktor tangan. Burung-burung kucica yang telah turun
temurun mendaulat belukar puyengan itu terpaksa hijrah ke semak-semak kerontang
yang menjadi batas antara Bukit Cibalak dan Desa Tanggir di kakinya” Ahmad
Tohari (1986: 6).” Hal ini yang menjadi
bukti bahwa karya-karya Ahmad tohari sangat menjunjung nilai lokalitas tanpa
mengindahkan kritik terhadap lingkkungan di sekitarnya. Dan hal inilah yang
juga menjadi factor bahwa karya-karyanya masih hidup dan digemari lintas
generasi.
Nama Dukuh Paruk dipungut Ahmad Tohari sebagai latar terjadinya
berbagai fenomena masyarakat, pergulatan sejarah, juga ikon penggambaran
masyarakat yang masih terbelakang terlebih dalam memahami hiruk pikuk yang
melanda sebuah negara. Alih-alih peduli mereka digambarkan lebih asyik menjaga
tradisi dan mendirikan sendiri dunianya, pun dijelaskan luas daerahnya yang
kecil dan jumlah penduduk yang tinggal di 23 rumah yang sepertinya menjadi faktor
kekompakan mereka dalam mempertahankan adat dan tradisi mereka, mereka tak
terusik akan hal-hal berbau politik dan caruk maruknya negeri yang mereka
tinggali. Mereka hidup dengan damai tanpa kekhawatiran. “dari tempatnya yang tinggi
kedua burung bangau itu melihat Dukuh Paruk sebagai sebuah gerumbul kecil di
tengah padang yang amat luas. dengan daerah pemukiman terdekat, Dukuh Paruk
hanya dihubungkan oleh jaringam pematang sawah ,hampir dua kilometer
panjangnya. Dukuh Paruk kecil dan menyendiri. Dukuh Paruk yang menciptakan
kehidupannya sendiri” (hlm. 10).
Selain bercerita
tentang lokalitas yang kental Ada konsep keterbelakangan yang disisipkan pula
oleh pengarang asal banyumas ini. Hal itu tercermin pada alur cerita yang dipaparkan, dari berbagai
peristiwa yang ditorehkan serta respon
masyarakat Dukuh Paruk dalam menanggapi
laku kehidupan. Cerita itu bermula saat
ronggeng Dukuh Paruk kesepian dan kehilangan jiwanya karena telah 12 tahun
lamanya menderita, hidup tanpa ada ronggeng dan segala kecabulannya. Dukuh ini
telah menganggap bahwa ronggeng adalah jati
dirinya. “Dukuh Paruk tanpa ronggeng bukanlah Dukuh Paruk “(hlm. 15). Bahkan mereka rela hidup dalam lingkar
kemelaratan asalkan ada ronggeng di tengah-tengah mereka, mereka juga tidak
peduli apa yang dipikirkan masyarakat lain tentang mereka “gambaran tentang Dukuh Paruk dilengkapi
dengan ucapan orang luar yang senang berkata misalnya, “jangan mengabadikan
kemelaratann seperti orang Dukuh Paruk” atau “hei anak-anak , pergilah mandi.
kalau tidak nanti kupingmu mengalir nanah, kakimu kena kudis, seperti anak-anak
Dukuh Paruk !” (hlm. 15-16). Ungkapan ini yang dijadikan tolok ukur bahwa saat
itu parameter tingkat kemartabatan telah berbeda dengan pandangan Dukuh Paruk
terhadap kehidupan,
Dibalik konsepsi
kemiskinan dan keterbelakangan yang
dianut Dukuh Paruk , mereka hidup dengan bahagia. bahkan kebahagiaan mereka
bertambah manakala muncul tokoh sentral yaitu srintil yang telah “digadang-gadangkan” sebagai calon ronggeng
baru. Namun untuk mengesahkan keronggengannya ia diwajibkan untuk mengikuti
tradisi yang diwajibkan Dukuh Paruk yaitu mandi di pekuburan Ki Secamenggala
(nenek moyang Dukuh Paruk) dan malam bukak klambu (laki-laki yang dapat
menyerahkan uang sesuai yang ditentukan oleh dukun ronggeng berhak mendapatkan
keperawanan calon ronggeng).
Sekali
lagi garis keterbelakangan itu nampak ketika sebuah keperawanan diperebutkan
dan manakala para istri menyerahkan suaminya dan berbangga ketika suaminya
terpilih untuk bukak-klambu dengan calon
ronggeng. Rasus sebagai tokoh penyeimbang kebobrokan moral Dukuh Paruk amat
kecewa karena satu-satunya orang yang dijadikan sebagai tempat ia meliat
emaknya kini telah berubah dan menjadi milik seluruh masayakat Dukuh Paruk.
Tentu srintil yang dimaksud. ia pergi
dan mencari jati diri namun untuk kembali memperbaiki dukuhnya. selama
kepergiannya Dukuh Paruk melalui banyak hal. Baik hal baik karena semakin
dikenalnya dukuh paruh melalui ronggeng atau malapetaka terbesar yang merajam
mental Dukuh Paruk yakni malapetaka politik tahun 1960.
Selain mengupas keterbelakangan masyarakat
saat itu Ahmad Tohari juga memperluas pandangannya dalam novel ini untuk menyikapi tragedi peristiwa
penghancuran partai komunis Indonesia tahun ’60-an. Peristiwa dimulai saat Srintil
dan rombongan ronggeng menerima tawaran Bakar (pihak yang diduga kader PKI)
untuk mengisi pentas Agustusan di daerah lain, biasanya setiap ronggeng hendak
pentas haruslah memasang sesaji di kuburan Ki Secamenggala untuk meminta restu,
namun saat itu Bakar melarang melakukan itu saat itulah awal keganjalan
dirasakan oleh sesepuh dukuh karena tradisi yang selalu mereka jalani kini
tidak dilakukan, dengan perasaan khawatir pentas terus berjalan, namun di tengah-tengah pentas Bakar menyisipi
dengan pidato propaganda, srintil pun bingung, karena melihat Bakar berpidato
dengan berapi-api tapi tak jua diambil pusing. Tak sampai disitu Bakar kerap
menghasut srintil untuk menemani Bakar melancarkan aksi propagandanya, srintil
menolak tapi diancam dan juga dijebak oleh Bakar sehingga tak kuasa menolak.
Lalu hal
yang paling mengerikan terjadi di dukuh yang lugu ini, Dukuh Paruk dihadang dan
dibakar, entah siapa pelakunya. Puncak penderitaan terjadi ketika Srintil dan
salah satu sesepuh ditahan karena diduga sebagai roda penggerak propaganda PKI.
Itulah kehancuran Dukuh Paruk yang sesungguhnya. Namun keluguan dan kenaifan
mereka tetap terlihat manakala menganggap bahwa peristiwa yang telah
menghancurkan jiwa Dukuh Paruk akibat tidak memberi sesaji saat pentas Agustusan
di makam Ki Secamenggala, mereka tak menafsirkan bahwa ada permainan politik
yang sedang memanfaatkan mereka, mereka pasrah dan menerima nasib begitu saja.
Pandangan
yang diberikan pengarang membawa titik terang
bahwa ternyata masih ada rakyat-rakyat
dipelosok sana yang tidak memahami kancah politik yang sedang bergeming,
pergulatan yang sebenarnya merugikan mereka sebagai rakyat kecil. Tapi mereka
abai dan tak ingin terlibat, yang mereka ingin adalah dunia aman-aman saja
sehingga mereka mencari titik kebahagiaan mereka sendiri. Jika kita melihat
realita masyarakat sekarang tentu ada kesamaan terlebih di waktu-waktu
pemilihan umum, aparat-aparat penggerak suara hitam bertaburan dan rakyat masih
dengan tangan terbuka menerima amplop-amplop dan mengindahkan karakter pemimpin
yang akan mereka jadikan tempat berlindung. Terlepas dari hal itu karya ini
cukup membuka kesadaran kita mengenai arti hidup yang sebenarnya, kita juga
tidak diperkenankan untuk abai dan tinggal dalam lingkup kebodohan..
DAFTAR
PUSTAKA
Damono,
Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra,
Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Tohari,
Ahmad. 1986. Di Kaki Bukit Cibalak.
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Yudiono,
K.S. 2003. Ahmad Tohari: Karya dan Dunianya. Jakarta :PT Grasindo.
catatan penulis : tulisan saya tiadalah sempurna, kritik dan saran sangat saya terima :) untuk kebaikan ke depannya. dukunglah saya yang sedang belajar hiks.