Sabtu, 02 Desember 2017



MENGUAK KETERBELAKANGAN MORAL

Judul                : Ronggeng Dukuh Paruk
Penulis             : Ahmad Tohari
Penerbit            : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan           : Kesebelas, (April 2016)
Tebal                : 408 Halaman
ISBN               : 978-979-22-0196-3
           
Menurut Ian Watt (dalam Damono 1978: 3-4) sastra sebagai cerminan kehidupan masyarakat merupakan fungsi sastra untuk merefleksikan kehidupan masyarakat kedalam sastra. Pengarang sebagai salah satu anggota masayarkat yang hidup dan menyaksikan fenomena dalam masyarakat, menuliskan dan mengabarkan pada sejarah, realita-realita yang tersirat dalam sebuah karya sastra. Hal inilah yang membuat Setiap karya sastra yang lahir tak pernah lepas dari masyarakat di mana pengarang itu tumbuh dan menjalani hidupnya.  Baik jenis kaeya sastra yang mengangkat tema lokalitas, true story atau bahkan yang menonjolkan fiksi dan tema-tema kekinian. Salah satunya ada pada karya hebat, dan anak sejarah yang masih menggema Ronggeng Dukuh Paruk, buah tangan pengarang kelahiran tahun 1948, Ahmad Tohari.
Ahmad tohari adalah pengarang asal Banyumas, pada tahun 1980-an sampai tahun 2000-an ia produktif menghasilkan tulisan baik cerpen maupun novel. Ronggeng Dukuh Paruk menjadi salah satu karya yang berhasil ia selesaikan sekitar tahun 1982. Pun masih terdapat karya lain yang menjadi rangkaian seri trilogi novel ini, yaitu Lintang Kemukus Dini Hari (1985) dan Jentera Bianglala (1986). Banyak penghargaan yang telah ia dapatkan, baik dari menjadi pemenang sayembara ,hadiah sastra dan hadiah yayasan buku utama serta karya-karyanya sudah banyak dialihbahasakan dan dialihmediakan menjadi film.
Karya yang mengangkat kisah pergulatan penari ronggeng di Dukuh Paruk ini amat sarat dengan kesatirannya yang lembut dalam menguak tragedi tahun ’60-an namun dengan pemaparan yang khas dengan nuansa alam dan pedesaan. Hal itu terjadi juga pada karya-karya Ahmad tohari yang lain seperti di kaki bukit cibalak “Di sekitar kaki Bukit Cibalak, tenaga kerbau telah digantikan traktor-traktor tangan. Burung-burung kucica yang telah turun temurun mendaulat belukar puyengan itu terpaksa hijrah ke semak-semak kerontang yang menjadi batas antara Bukit Cibalak dan Desa Tanggir di kakinya” Ahmad Tohari (1986: 6).”  Hal ini yang menjadi bukti bahwa karya-karya Ahmad tohari sangat menjunjung nilai lokalitas tanpa mengindahkan kritik terhadap lingkkungan di sekitarnya. Dan hal inilah yang juga menjadi factor bahwa karya-karyanya masih hidup dan digemari lintas generasi.

Nama Dukuh Paruk dipungut Ahmad Tohari sebagai latar terjadinya berbagai fenomena masyarakat, pergulatan sejarah, juga ikon penggambaran masyarakat yang masih terbelakang terlebih dalam memahami hiruk pikuk yang melanda sebuah negara. Alih-alih peduli mereka digambarkan lebih asyik menjaga tradisi dan mendirikan sendiri dunianya, pun dijelaskan luas daerahnya yang kecil dan jumlah penduduk yang tinggal di 23 rumah yang sepertinya menjadi faktor kekompakan mereka dalam mempertahankan adat dan tradisi mereka, mereka tak terusik akan hal-hal berbau politik dan caruk maruknya negeri yang mereka tinggali. Mereka hidup dengan damai tanpa kekhawatiran. “dari tempatnya yang tinggi kedua burung bangau itu melihat Dukuh Paruk sebagai sebuah gerumbul kecil di tengah padang yang amat luas. dengan daerah pemukiman terdekat, Dukuh Paruk hanya dihubungkan oleh jaringam pematang sawah ,hampir dua kilometer panjangnya. Dukuh Paruk kecil dan menyendiri. Dukuh Paruk yang menciptakan kehidupannya sendiri” (hlm. 10).

Selain bercerita tentang lokalitas yang kental Ada konsep keterbelakangan yang disisipkan pula oleh pengarang asal banyumas ini. Hal itu tercermin  pada alur cerita yang dipaparkan, dari berbagai peristiwa  yang ditorehkan serta respon masyarakat Dukuh Paruk  dalam menanggapi laku kehidupan. Cerita  itu bermula saat ronggeng Dukuh Paruk kesepian dan kehilangan jiwanya karena telah 12 tahun lamanya menderita, hidup tanpa ada ronggeng dan segala kecabulannya. Dukuh ini telah  menganggap bahwa ronggeng adalah jati dirinya. “Dukuh Paruk tanpa ronggeng bukanlah Dukuh Paruk “(hlm. 15).  Bahkan mereka rela hidup dalam lingkar kemelaratan asalkan ada ronggeng di tengah-tengah mereka, mereka juga tidak peduli apa yang dipikirkan masyarakat lain tentang mereka  “gambaran tentang Dukuh Paruk dilengkapi dengan ucapan orang luar yang senang berkata misalnya, “jangan mengabadikan kemelaratann seperti orang Dukuh Paruk” atau “hei anak-anak , pergilah mandi. kalau tidak nanti kupingmu mengalir nanah, kakimu kena kudis, seperti anak-anak Dukuh Paruk !” (hlm. 15-16). Ungkapan ini yang dijadikan tolok ukur bahwa saat itu parameter tingkat kemartabatan telah berbeda dengan pandangan Dukuh Paruk terhadap kehidupan,
Dibalik konsepsi kemiskinan dan  keterbelakangan yang dianut Dukuh Paruk , mereka hidup dengan bahagia. bahkan kebahagiaan mereka bertambah manakala muncul tokoh sentral yaitu srintil yang telah  “digadang-gadangkan” sebagai calon ronggeng baru. Namun untuk mengesahkan keronggengannya ia diwajibkan untuk mengikuti tradisi yang diwajibkan Dukuh Paruk yaitu mandi di pekuburan Ki Secamenggala (nenek moyang Dukuh Paruk) dan malam bukak klambu (laki-laki yang dapat menyerahkan uang sesuai yang ditentukan oleh dukun ronggeng berhak mendapatkan keperawanan calon ronggeng).
Sekali lagi garis keterbelakangan itu nampak ketika sebuah keperawanan diperebutkan dan manakala para istri menyerahkan suaminya dan berbangga ketika suaminya terpilih  untuk bukak-klambu dengan calon ronggeng. Rasus sebagai tokoh  penyeimbang kebobrokan moral Dukuh Paruk amat kecewa karena satu-satunya orang yang dijadikan sebagai tempat ia meliat emaknya kini telah berubah dan menjadi milik seluruh masayakat Dukuh Paruk. Tentu srintil yang dimaksud.  ia pergi dan mencari jati diri namun untuk kembali memperbaiki dukuhnya. selama kepergiannya Dukuh Paruk melalui banyak hal. Baik hal baik karena semakin dikenalnya dukuh paruh melalui ronggeng atau malapetaka terbesar yang merajam mental Dukuh Paruk yakni malapetaka politik tahun 1960.
 Selain mengupas keterbelakangan masyarakat saat itu Ahmad Tohari juga memperluas pandangannya dalam novel ini  untuk menyikapi tragedi peristiwa penghancuran partai komunis Indonesia tahun ’60-an. Peristiwa dimulai saat Srintil dan rombongan ronggeng menerima tawaran Bakar (pihak yang diduga kader PKI) untuk mengisi pentas Agustusan di daerah lain, biasanya setiap ronggeng hendak pentas haruslah memasang sesaji di kuburan Ki Secamenggala untuk meminta restu, namun saat itu Bakar melarang melakukan itu saat itulah awal keganjalan dirasakan oleh sesepuh dukuh karena tradisi yang selalu mereka jalani kini tidak dilakukan, dengan perasaan khawatir pentas terus berjalan,  namun di tengah-tengah pentas Bakar menyisipi dengan pidato propaganda, srintil pun bingung, karena melihat Bakar berpidato dengan berapi-api tapi tak jua diambil pusing. Tak sampai disitu Bakar kerap menghasut srintil untuk menemani Bakar melancarkan aksi propagandanya, srintil menolak tapi diancam dan juga dijebak oleh Bakar sehingga tak kuasa menolak.
Lalu hal yang paling mengerikan terjadi di dukuh yang lugu ini, Dukuh Paruk dihadang dan dibakar, entah siapa pelakunya. Puncak penderitaan terjadi ketika Srintil dan salah satu sesepuh ditahan karena diduga sebagai roda penggerak propaganda PKI. Itulah kehancuran Dukuh Paruk yang sesungguhnya. Namun keluguan dan kenaifan mereka tetap terlihat manakala menganggap bahwa peristiwa yang telah menghancurkan jiwa Dukuh Paruk akibat tidak memberi sesaji saat pentas Agustusan di makam Ki Secamenggala, mereka tak menafsirkan bahwa ada permainan politik yang sedang memanfaatkan mereka, mereka pasrah dan menerima nasib begitu saja.
Pandangan yang diberikan pengarang membawa titik terang  bahwa ternyata  masih ada rakyat-rakyat dipelosok sana yang tidak memahami kancah politik yang sedang bergeming, pergulatan yang sebenarnya merugikan mereka sebagai rakyat kecil. Tapi mereka abai dan tak ingin terlibat, yang mereka ingin adalah dunia aman-aman saja sehingga mereka mencari titik kebahagiaan mereka sendiri. Jika kita melihat realita masyarakat sekarang tentu ada kesamaan terlebih di waktu-waktu pemilihan umum, aparat-aparat penggerak suara hitam bertaburan dan rakyat masih dengan tangan terbuka menerima amplop-amplop dan mengindahkan karakter pemimpin yang akan mereka jadikan tempat berlindung. Terlepas dari hal itu karya ini cukup membuka kesadaran kita mengenai arti hidup yang sebenarnya, kita juga tidak diperkenankan untuk abai dan tinggal dalam lingkup kebodohan..

DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat  Pembinaan  dan  Pengembangan  Bahasa,  Departemen  Pendidikan  dan Kebudayaan.
Tohari, Ahmad. 1986. Di Kaki Bukit Cibalak. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Yudiono, K.S. 2003. Ahmad Tohari: Karya dan Dunianya. Jakarta :PT Grasindo.


catatan penulis : tulisan saya tiadalah sempurna,  kritik dan saran sangat saya terima :) untuk kebaikan ke depannya. dukunglah saya yang sedang belajar hiks.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar