Saat
Rezim Mempersilakan Bicara
Ruang
bicara kini memang terbentang luas, tapi yang menjadi masalah adalah adakah
yang mendengarnya? jika melihat era sekarang media bersuara dan media
mengeksiskan diri memang amat membludak dari facebook, instagram, wattpad,
line, path, sampai tiktok atau apalah itu namanya. Secara konten pun beragam
ada yang berfokus pada tulisan, ada yang berfokus pada gambar, ada yang
video hingga gabungan dari semuanya.
Jemari
millenialpun sudah canggih benar, rezim mereka memang banyak disuguhi beraneka
ragam media untuk bersuara
sekencang-kencangnya. Secara penggunaannyapun beraneka ragam sifatnya, ada yang
ya kurang berminat di beberapa media sehinga hanya beberapa media saja yang ia
gunakan, ada juga millennial yang dari aplikasi a sampai z ia gunakan semua. Ladalah.
Berbicara tentang ruang bicara saya ingin
mundur beberapa langkah. Kata orang sebelum rezim di mana ruang bicara menjadi seleluasa ini konon ada rezim yang
gemar memberedel, rezim yang menyumbat ruang-ruang bicara, rezim yang meminta
kita bungkam sejadi-jadinya bahkan terhadap kebenaran sekalipun. Tapi ya saya tak tahu pasti karena di usia itu
saya masih kinyis-kinyis bahkan fase
merangkakpun belum cakap benar apalagi bicara. Jadi saya tak bersua langsung
dengan rezim semacam ini.
Tapi
dari sedikitnya literatur yang saya teguk, saya di weruhi kejadian-kejadian yang amat mencekik, pemahaman perlahan
dibuka, peristiwa-peristiwa luka lama yang lamat-lamat dilumat waktu mulai
tergambar di benak. tentu belum
keseluruhan karena literature saya masih sangat payah dan hina dina, masih amat
kurang sebagai dalil untuk bersuara di zaman yang terbentang segudang informasi
ini. Bahkan antara kabar kibul dengan kabar betul pun amat pekat untuk
disingkap.
Wiji
thukul, saya ingin membicarakan saksi hidup kenestapaan rezim itu. Awalnya saya
berjumpa dengannya dari puisi fenomenalnya berjudul “Bunga dan Tembok” di sebuah pertunjukan teatrikal yang
bergairah, karena kuyup oleh penasaran saya lantas mencari siapakah pemilik
puisi menggugah itu, lalu saya cari kumpulan puisinya yang termaktub dalam pustaka
warna oranye berjudul “ Nyanyian Akar Rumput”.
Wiji Thukul, sastrawan
dan aktivis asal Solo yang ikut melawan penindasan Orde Baru, ia dinyatakan hilang
tahun 1998
(foto : (tempo.co/Idon Heryatna)
Setelah
bersua pada naskahnya saya dibuat merinding di bagian pengantar, begitu jelas
dan lugas segala apa yang dialami sang penyair yang kini hilang entah kemana,
beberapa sumber menyebut ia hilang diculik oleh militer. lalu saat menyambangi buah pikirnya ah begitu
merajam dan ngeri, pasalnya puisi-puisi gubahannya terceletuk secara lugas namun
begitu mengena, metaforanya tak begitu membludak sehingga sangat mudah
dipahami.
Salah
satu puisinya yang amat saya kagumi adalah “Bunga dan Tembok” , penyair asal Solo ini menceritakan perihal
rakyat kecil yang terusir dan diperlakukan semena-mena oleh penguasa saat itu
lewat metafora judul “Bunga dan Tembok” .
begini keharuman puisinya di bait pertama: Seumpama bunga/ Kami adalah bunga yang tak/Kau
hendaki tumbuh/Engkau lebih suka membangun/Rumah dan merampas tanah/. Di bait
ini, sang penyair kelahiran 1963 ini
hendak menggambarkan tingah polah pemerintahan yang tengah dihadapi saat itu. Penguasa
semena-mena mengusir rakyat kecil, dan merempas tanah rakyat kecil.
Seirama
dengan bait pertama, bait kedua dan ketiga bersuara demikian adanya, /Seumapa
bunga/ Kami adalah bunga yang tak/ Kau
kehendaki adanya/ Engkau lebih suka membangun/ Jalan raya dan pagar besi/,
Seumpama bunga/ Kami adalah bunga yang/ Dirontokkan di bumi kami sendiri/.
Pada
bait keempat dan kelima, puisi yang ditulis tahun 1987 ini mulai bercerita
mengenai perlawanan rakyat kecil kepada pemerintah yang semena-mena lewat
analogi metafora yang sederhana, Wiji ingin mengajarkan suatu keberanian bahwa
tirani harus ditumbangkan, keserakahan penguasa harus dilawan, berikut cuplikan
puisinya , /jika kami bunga/ Engkau adalah tembok itu/ Tapi di tubuh tembok
itu/ Telah kami sebar biji-biji/ Suatu saat akan tumbuh bersama/ Dengan
keyakinan : engkau harus hancur !/, Dalam keyakinan kami/ Di manapun- tirani
harus tumbang!/.
Hidup
di lingkar keserakahan penguasa hingga segala upaya pengutaraan pendapat
dibungkam adalah suatu kesusahan dan kenestapaan. Pun dalam lingkar rezim yang
membebaskan upaya berpendapat semua menuai sisi baik dan buruk masing-masing. Sisi
buruknya di zaman banyak ucapan ini banyak hal yang membuat kepala
geleng-geleng pasalnya terlalu banyak komentar-komentar, nyinyiran, hujatan
hingga berita kibul yang bisa menghancurkan persatuan bangsa. Sedangkan, sisi
baiknya kita dipersilakan mengutarakan pendapat bahkan meluncurkan kritikan
terhadap laku dan kebijakan yang dibuat penguasa.
(Menerima
kritik dan saran dari pembaca sekalian, silakan tulis di kolom komentar)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar