Rabu, 05 September 2018


Saat Rezim Mempersilakan Bicara

Ruang bicara kini memang terbentang luas, tapi yang menjadi masalah adalah adakah yang mendengarnya? jika melihat era sekarang media bersuara dan media mengeksiskan diri memang amat membludak dari facebook, instagram, wattpad, line, path, sampai tiktok atau apalah itu namanya. Secara konten pun beragam ada yang berfokus pada tulisan, ada yang berfokus pada gambar, ada yang video  hingga gabungan dari semuanya.

Jemari  millenialpun sudah canggih benar,  rezim mereka memang banyak disuguhi beraneka ragam media untuk  bersuara sekencang-kencangnya. Secara penggunaannyapun beraneka ragam sifatnya, ada yang ya kurang berminat di beberapa media sehinga hanya beberapa media saja yang ia gunakan, ada juga millennial yang dari aplikasi a sampai z ia gunakan semua. Ladalah.

            Berbicara tentang ruang bicara saya ingin mundur beberapa langkah. Kata orang sebelum rezim di mana ruang bicara  menjadi seleluasa ini konon ada rezim yang gemar memberedel, rezim yang menyumbat ruang-ruang bicara, rezim yang meminta kita bungkam sejadi-jadinya bahkan terhadap kebenaran sekalipun.  Tapi ya saya tak tahu pasti karena di usia itu saya masih kinyis-kinyis bahkan fase merangkakpun belum cakap benar apalagi bicara. Jadi saya tak bersua langsung dengan rezim semacam ini.

Tapi dari sedikitnya literatur yang saya teguk, saya di weruhi kejadian-kejadian yang amat mencekik, pemahaman perlahan dibuka, peristiwa-peristiwa luka lama yang lamat-lamat dilumat waktu mulai tergambar di benak.  tentu belum keseluruhan karena literature saya masih sangat payah dan hina dina, masih amat kurang sebagai dalil untuk bersuara di zaman yang terbentang segudang informasi ini. Bahkan antara kabar kibul dengan kabar betul pun amat pekat untuk disingkap.

Wiji thukul, saya ingin membicarakan saksi hidup kenestapaan rezim itu. Awalnya saya berjumpa dengannya dari puisi fenomenalnya berjudul  “Bunga dan  Tembok”  di sebuah pertunjukan teatrikal yang bergairah, karena kuyup oleh penasaran saya lantas mencari siapakah pemilik puisi menggugah itu, lalu saya cari kumpulan puisinya yang termaktub dalam pustaka warna oranye berjudul “ Nyanyian Akar Rumput”.


Wiji Thukul, sastrawan dan aktivis asal Solo yang ikut melawan penindasan Orde Baru, ia dinyatakan hilang tahun 1998 
(foto : (tempo.co/Idon Heryatna)

Setelah bersua pada naskahnya saya dibuat merinding di bagian pengantar, begitu jelas dan lugas segala apa yang dialami sang penyair yang kini hilang entah kemana, beberapa sumber menyebut ia hilang diculik oleh militer.  lalu saat menyambangi buah pikirnya ah begitu merajam dan ngeri, pasalnya puisi-puisi gubahannya terceletuk secara lugas namun begitu mengena, metaforanya tak begitu membludak sehingga sangat mudah dipahami.

Salah satu puisinya yang amat saya kagumi adalah “Bunga dan  Tembok”  , penyair asal Solo ini menceritakan perihal rakyat kecil yang terusir dan diperlakukan semena-mena oleh penguasa saat itu lewat metafora judul  “Bunga dan  Tembok” .  begini keharuman puisinya di bait pertama: Seumpama bunga/ Kami adalah bunga yang tak/Kau hendaki tumbuh/Engkau lebih suka membangun/Rumah dan merampas tanah/. Di bait ini,  sang penyair kelahiran 1963 ini hendak menggambarkan tingah polah pemerintahan yang tengah dihadapi saat itu. Penguasa semena-mena mengusir rakyat kecil, dan merempas tanah rakyat kecil.

Seirama dengan bait pertama, bait kedua dan ketiga bersuara demikian adanya, /Seumapa bunga/  Kami adalah bunga yang tak/ Kau kehendaki adanya/ Engkau lebih suka membangun/ Jalan raya dan pagar besi/, Seumpama bunga/ Kami adalah bunga yang/ Dirontokkan di bumi kami sendiri/.

Pada bait keempat dan kelima, puisi yang ditulis tahun 1987 ini mulai bercerita mengenai perlawanan rakyat kecil kepada pemerintah yang semena-mena lewat analogi metafora yang sederhana, Wiji ingin mengajarkan suatu keberanian bahwa tirani harus ditumbangkan, keserakahan penguasa harus dilawan, berikut cuplikan puisinya , /jika kami bunga/ Engkau adalah tembok itu/ Tapi di tubuh tembok itu/ Telah kami sebar biji-biji/ Suatu saat akan tumbuh bersama/ Dengan keyakinan : engkau harus hancur !/, Dalam keyakinan kami/ Di manapun- tirani harus tumbang!/.

Hidup di lingkar keserakahan penguasa hingga segala upaya pengutaraan pendapat dibungkam adalah suatu kesusahan dan kenestapaan. Pun dalam lingkar rezim yang membebaskan upaya berpendapat semua menuai sisi baik dan buruk masing-masing. Sisi buruknya di zaman banyak ucapan ini banyak hal yang membuat kepala geleng-geleng pasalnya terlalu banyak komentar-komentar, nyinyiran, hujatan hingga berita kibul yang bisa menghancurkan persatuan bangsa. Sedangkan, sisi baiknya kita dipersilakan mengutarakan pendapat bahkan meluncurkan kritikan terhadap laku dan kebijakan yang dibuat penguasa.

(Menerima kritik dan saran dari pembaca sekalian, silakan tulis di kolom komentar)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar