Jumat, 14 September 2018


Nestapa


Dunia keranjingan nestapa
Buah kecil yang meniduri rahimnya
Telah ia  denguskan pada kekejaman yang fana
Berontak pada puing-puing kemanusiaan yang sontak runtuh
Kala menjatuhkan selengan nyawa di kubangan gelap
Sungai-sungai  menyelimuti kedinginan sang kecil
Saat memacu laju kaki, ia gemetar, ingin ia pungut wajah berseri itu
Namun pada sudut nestapa pilu yang mana?
Aku tak tahu benar
Pukulan-pukulan hidup yang mana?
Aku pun tak tahu benar
Hingga lakon napas  seseorang bisa keji benar
Nurani seketika mati
Tiada lagi pikiran merdu yang membawa kakinya ngilu
Tetap tegak punggung mudi itu, tergopoh-gopoh menahan sembilu
Dan tangis bayi menggema
Lalu ia melupa
Akan semua

*seusai menyaksikan berita pembuangan bayi, itu benar-benar miris, bagaimana bisa sampai hati.



Selasa, 11 September 2018

Timnas Indonesia Tumbangkan Mauritius


Gelandang Timnas Indonesia, Evan dimas melakukan selebrasi usai menjebol gawang Mauritius pada laga uji coba, di stadion Wibawa Mukti, Cikarang, Jawa Barat , Selasa (11/09).  (Sumber Foto:  Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

Laga uji coba antara Indonesia vs Mauritius berhasil diselenggarakan di stadion Wibawa Mukti, Cikarang, Jawa Barat, Selasa (11/09) pukul 16.30 WIB.  Laga ini adalah laga uji coba sebelum timnas memacu sepak lagi pada Piala AFF tahun ini, selain itu,  untuk menguatkan posisi masing-masing tim di mata FIFA, pasalnya Indonesia menduduki peringkat ke-164 dan tertinggal cukup jauh dari Mauritius yang berhasil menangguhkan diri di peringkat ke-155.

Hal  yang patut disoroti dari laga ini adalah skuat garuda tak didampingi pelatih resmi mereka, Luis Milla yang kini sedang pulang ke kampung halamannya di Spanyol. Namun, meski begitu, tim garapannya berhasil menggondol skor 1-0 atas Mauritius di menit-menit akhir hasil dari sepak tajam Evan Dimas.

Permainan laga persahabatan ini berlangsung ketat meskipun Boaz dkk bermain dengan ritme cepat dan mendominasi permainan. Hal ini dikarenakan  pertahanan Mauritius bak tembok yang sukar ditembus, mereka lebih mengandalkan serangan balik ketimbang menyerang sehingga di babak pertama Indonesia kembali ke bangku istirahat dengan tangan hampa.

Di babak kedua Serangan kembali diluncurkan oleh skuat merah putih, teror-teror dari Lilipaly dkk semakin meningkat, peluang-peluang gol banyak terjadi, pun pergantian pemain banyak dilakukan oleh jajaran pelatih timnas yang duduk dibangku wasit yakni  Danurwindo, Kurniawan Dwi Yulianto, dan Kurnia Sandy. Pemain yang diturunkan yakni Boaz, Febri Haryadi, Lilypaly  dan diganti oleh  Septian Davis Maulana , Iham Udin armayn, serta Dedik Setiawan.

Skor tak berubah hingga wasit meniup peluit tanda berakhirnya pertandingan. Selanjutnya timnas akan menjamu Myanmar pada Selasa (09/10).

,





Minggu, 09 September 2018

Solo Menawan Kenangan


Bus tingkat wisata Kota Solo sedang berkeliling melewati Pasar Gede, Jl Jenderal Sudirman, Surakarta
(Sumber foto: Dishubkominfo Surakarta)

Kota-kota selalu menawan kenangan dengan hingar bingar yang tak diperoleh di sudut jalan pedesaan, semacam kerlap-kerlip lampu, romantika kemacetan, tata bangunan yang menjulang dan artistik, atau tower-tower yang menghadang angin, ruang-ruang saji penyembuh dahaga serta  lapar yang banyak terhampar di sisi jalanan. Serta Beragam  agenda pemerintah kota yang kerap  menjadi medan magnet penawar segala kepenatan,  juga menjadi aji mumpung pedagang-pedagang kecil yang tak tertawan senyumnya meski hanya membawa rupiah seadanya.

Rumah-rumah singgah yang menjulang dengan variasi harga yang benar-benar beragam, ini sangat menyejukkan ketika tersapu mata selagi berkendara berjejalan dengan angin malam. Kita selalu punya kenangan manis dengan kota apalagi jika anak perantau macam saya ini, sudah barang tentu kota menawar kerinduan-kerinduan kecil yang dapat mematuk lamun saat diri singgah di tempat lain.

Kita semua tentu punya kesan-kesan yang berbeda perihal kota yang menjanjikan kerinduan terdalam, karena laju napas kita mengudara dan menjelajah di ruang yang berbeda.  Tapi kini saya ingin sekadar menaburkan palung-palung kerinduan saya tentang kota ini, kota yang sudah menawan kenangan selama hampir 4 tahun belakangan ini, kota tempat tumbuhnya kesadaran-kesadaran ihwal hidup, ihwal dunia yang sarat dengan kejutan, kadang menggembirakan, menakutkan juga menyedihkan. Begitulah cara kerjanya.

Solo, kota yang berdasarkan hitung-hitungan media Kompas.com menjadi 1 dari 7 kota yang nyaman dihuni di Indonesia, hitungan ini dirilis oleh Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) melalui persepsi masyarakat. penentuan ini didasarkan oleh 27 indikator yang ditentukan.  Hasilnya Solo menjadi kota yang paling nyaman dihuni nomor dua di bawah Kota Balikpapan, lalu disusul Kota Malang, Yogyakarta, Makassar, Palembang dan Bandung.

 Saya tak heran perihal prestasi besar ini, pasalnya selama saya tinggal di Solo atau yang secara formal-Pemerintahan disebut sebagai Kota Surakarta kota ini memang memiliki situasi yang aman, damai dan tenteram.  Jarang terjadi kerusuhan atau peristiwa-peristiwa yang neko-neko.
Saat sesi pembukaan Mega Seminar Enterpreanur’s Day, Sabtu (8/9), Wakil Walikota Solo Achmad Purnomo mengatakan bahwa Solo ini memang kota yang nyaman, penduduknya sangat padat, bahkan terpadat se-Jawa Tengah.

“Solo ini kota yang sangat padat, bahkan terpadat se-jawa tengah, tapi ya padatnya kalau siang, kalau malam sudah berbeda, soalnya Solo ini kan banyak rumah sakit, banyak universitas sehingga kalau siang aktivitas menjadi sangat padat dan ramai.” Ucapnya dengan nada berkelakar.
Selain itu Solo juga merupakan kota yang paling murah, dari makanan, pakaian ataupun  barang-barang lain. Bahkan uang Rp5000,- pun sudah membuat perut  kenyang. Kalau ini saya ndak bohong lo gaes, sila dicoba sendiri. Apalagi makanan di Kota Solo ini terbilang kaya akan rempah-rempah istilah lainnya adalah  tidak pelit bumbu saking tidak pelitnya bahkan manisnya kadang ndak ketulungan pun sangat beragam jenis makanannya. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?.

            Beralih ke sisi pariwisata, Solo ini memang kurang perihal wisata alam, bahkan bisa dihitung dengan jari jumlah destinasinya, misalnya kebun binatang Jurug yang saat setahun lalu berubah nama menjadi Taman Satwa Taru Jurug dan Taman Balekambang Solo. Namun meski begitu, Solo ini kaya dengan wisata budaya seperti tempat-tempat kerajinan batik, museum-museum, dan agenda-agenda Pemkot Solo semacam Solo Batik Carnival, Festival jenang, lampion-lampion saat Imlek dll. Inilah mengapa Solo dijuluki dengan Kota Budaya. Satu hal lagi yang menggembirakan tinggal di kota hangat ini adalah banyak toko buku dan bazar buku murah, ini adalah kenikmatan dan kebahagiaan tersendiri bagi saya yang fakir akan ilmu.

Begitulah sekilas perihal kota yang menawan banyak kenangan ini, tak lupa saya ingin menyelipkan sedikit aduan, barangkali Pak Walikota tersesat di belantara internet lalu membaca sepucuk kertas lusuh ini, atau jika tidak biarlah ini menumbuhkan kesadaran kita bersama. Solo memanglah menawan namun ada beberapa hal yang mungkin perlu diperbaiki dari Kota Batik ini, yaitu  perihal sampah, saya kerap menjumpai begitu banyak sampah di aliran sungai, apalagi kalau musim kemarau begini aduh, terlihat betul aneka sampah yang terlempar ke sungai.  Ini patut menjadi perhatian pemerintah, karena jika terlalu lama dibiarkan bisa berdampak fatal, selain banjir juga dapat menjadi sarang penyakit, pun tidak enak dipandang apalagi dicium. Ehh ehh.
           




Jumat, 07 September 2018


Korupsi Yang Malang


Karikatur Investor Daily 12 Februari 2014 


Ini hanya kelakar, bukan bahan untuk diseriusi, hanya jodohmu yang pantas diseriusi, baiknya membaca ini sambil menyeruput kopi sambil menghirup udara pagi. Baiklah selamat menikmati hidangan wahai para pembaca.

Jadi, Beberapa hari yang lalu publik dikejutkan dengan berita yang ya sebenarnya sudah bersenggama setiap waktu di telinga kita. Korupsi. Lagi-lagi korupsi menjamur, bahkan sampai melahap  41 dari 45 anggota DPRD kota Malang. Ini fantastis seharusnya tercetak di rekor muri. 

Saya tak tahu betapa terlukanya warga Malang yang mendengar pemerintahnya berbuat demikian, atas dalih apapun korupsi adalah tindakan yang salah dan tidak manusiawi, mereka memakan, mengambil yang bukan hak mereka dan itu tidak benar dalam undang-undang manapun. Rakyat  tentu akan terluka berat.

Saya juga tak tahu mengapa dunia perkorupsian tak henti-hentinya menelurkan generasi.  Tapi sungguh jemaah korupsi ini bikin saya “melongo gaes”. Bahkan ada lo rakyat yang mungkin setiap malam kelaparan, kekurangan dalam hal ekonomi , mati-matian cari rejeki, buat bayar pajak dan setelah sampai atas la kok buat “bancaan” . Kan ya lara gaes.

Saya bahkan sempat membuat ide gimana ya kalau  misalnya gaji pemerintah itu setara sama rakyat, oya betewe gaji mereka besar lo gaes.  Dihimpun dari detik.com gaji mereka, jika mengacu pada PP No 18 tahun 2017 tentang hak keuangan DPRD, Gaji ketua DPRD sebesar Rp 341. 798.00, Wakil ketua Rp 299.902.000, Anggota DPRD sebesar Rp 238.227.000 semua terhitung dalam satu tahun dan belum termasuk tunjangan lain. Saya tak tahu mengapa besaran besar ini terlihat kecil, buktinya mereka masih kreatif mencari sumber lain.

Penyebab jemaah korupsi ini menurut saya karena kurangnya integritas daripada anggota DPRD sekalian, sehingga jika suatu negeri dalam angan-angan atau cerita pendek saya, saya ingin menggaji mereka sesuai UMR, toh mereka juga wakil rakyat to? Hehe, tentu yang melamar jadi politikus adalah seseorang yang berhati besar dan benar-benar ingin jadi wakil rakyat, bukan semata-mata cari uang. Tapi sekali lagi, ini Cuma seandainya, seandainya itu andai-andai yang belum tentu jadi nyata dan ini andai-andai yang sangat konyol, sudah barang tentu ditentang banyak pihak.

Ahya begitulah gaes, tapi meski begitu kita tak pantas menyebarkan kebencian, berprasangka baik saja mungkin mereka sedang main monopoli-monopolian dan secara kebetulan monopolinya keblabasan lalu dihembus oleh KPK. Eh bukan-bukan maksud saya mungkin mereka sedang khilaf  Dan saya yakin seyakin-yakinnya di luar sana masih banyak politikus yang berintegritas, jujur dan memiliki prinsip. Jadi ya sudah. Kita buka kesadaran masing-masing, mengambil hikmah dari kejadian ini. “Tangilah gaes tangilah”



Rabu, 05 September 2018


Saat Rezim Mempersilakan Bicara

Ruang bicara kini memang terbentang luas, tapi yang menjadi masalah adalah adakah yang mendengarnya? jika melihat era sekarang media bersuara dan media mengeksiskan diri memang amat membludak dari facebook, instagram, wattpad, line, path, sampai tiktok atau apalah itu namanya. Secara konten pun beragam ada yang berfokus pada tulisan, ada yang berfokus pada gambar, ada yang video  hingga gabungan dari semuanya.

Jemari  millenialpun sudah canggih benar,  rezim mereka memang banyak disuguhi beraneka ragam media untuk  bersuara sekencang-kencangnya. Secara penggunaannyapun beraneka ragam sifatnya, ada yang ya kurang berminat di beberapa media sehinga hanya beberapa media saja yang ia gunakan, ada juga millennial yang dari aplikasi a sampai z ia gunakan semua. Ladalah.

            Berbicara tentang ruang bicara saya ingin mundur beberapa langkah. Kata orang sebelum rezim di mana ruang bicara  menjadi seleluasa ini konon ada rezim yang gemar memberedel, rezim yang menyumbat ruang-ruang bicara, rezim yang meminta kita bungkam sejadi-jadinya bahkan terhadap kebenaran sekalipun.  Tapi ya saya tak tahu pasti karena di usia itu saya masih kinyis-kinyis bahkan fase merangkakpun belum cakap benar apalagi bicara. Jadi saya tak bersua langsung dengan rezim semacam ini.

Tapi dari sedikitnya literatur yang saya teguk, saya di weruhi kejadian-kejadian yang amat mencekik, pemahaman perlahan dibuka, peristiwa-peristiwa luka lama yang lamat-lamat dilumat waktu mulai tergambar di benak.  tentu belum keseluruhan karena literature saya masih sangat payah dan hina dina, masih amat kurang sebagai dalil untuk bersuara di zaman yang terbentang segudang informasi ini. Bahkan antara kabar kibul dengan kabar betul pun amat pekat untuk disingkap.

Wiji thukul, saya ingin membicarakan saksi hidup kenestapaan rezim itu. Awalnya saya berjumpa dengannya dari puisi fenomenalnya berjudul  “Bunga dan  Tembok”  di sebuah pertunjukan teatrikal yang bergairah, karena kuyup oleh penasaran saya lantas mencari siapakah pemilik puisi menggugah itu, lalu saya cari kumpulan puisinya yang termaktub dalam pustaka warna oranye berjudul “ Nyanyian Akar Rumput”.


Wiji Thukul, sastrawan dan aktivis asal Solo yang ikut melawan penindasan Orde Baru, ia dinyatakan hilang tahun 1998 
(foto : (tempo.co/Idon Heryatna)

Setelah bersua pada naskahnya saya dibuat merinding di bagian pengantar, begitu jelas dan lugas segala apa yang dialami sang penyair yang kini hilang entah kemana, beberapa sumber menyebut ia hilang diculik oleh militer.  lalu saat menyambangi buah pikirnya ah begitu merajam dan ngeri, pasalnya puisi-puisi gubahannya terceletuk secara lugas namun begitu mengena, metaforanya tak begitu membludak sehingga sangat mudah dipahami.

Salah satu puisinya yang amat saya kagumi adalah “Bunga dan  Tembok”  , penyair asal Solo ini menceritakan perihal rakyat kecil yang terusir dan diperlakukan semena-mena oleh penguasa saat itu lewat metafora judul  “Bunga dan  Tembok” .  begini keharuman puisinya di bait pertama: Seumpama bunga/ Kami adalah bunga yang tak/Kau hendaki tumbuh/Engkau lebih suka membangun/Rumah dan merampas tanah/. Di bait ini,  sang penyair kelahiran 1963 ini hendak menggambarkan tingah polah pemerintahan yang tengah dihadapi saat itu. Penguasa semena-mena mengusir rakyat kecil, dan merempas tanah rakyat kecil.

Seirama dengan bait pertama, bait kedua dan ketiga bersuara demikian adanya, /Seumapa bunga/  Kami adalah bunga yang tak/ Kau kehendaki adanya/ Engkau lebih suka membangun/ Jalan raya dan pagar besi/, Seumpama bunga/ Kami adalah bunga yang/ Dirontokkan di bumi kami sendiri/.

Pada bait keempat dan kelima, puisi yang ditulis tahun 1987 ini mulai bercerita mengenai perlawanan rakyat kecil kepada pemerintah yang semena-mena lewat analogi metafora yang sederhana, Wiji ingin mengajarkan suatu keberanian bahwa tirani harus ditumbangkan, keserakahan penguasa harus dilawan, berikut cuplikan puisinya , /jika kami bunga/ Engkau adalah tembok itu/ Tapi di tubuh tembok itu/ Telah kami sebar biji-biji/ Suatu saat akan tumbuh bersama/ Dengan keyakinan : engkau harus hancur !/, Dalam keyakinan kami/ Di manapun- tirani harus tumbang!/.

Hidup di lingkar keserakahan penguasa hingga segala upaya pengutaraan pendapat dibungkam adalah suatu kesusahan dan kenestapaan. Pun dalam lingkar rezim yang membebaskan upaya berpendapat semua menuai sisi baik dan buruk masing-masing. Sisi buruknya di zaman banyak ucapan ini banyak hal yang membuat kepala geleng-geleng pasalnya terlalu banyak komentar-komentar, nyinyiran, hujatan hingga berita kibul yang bisa menghancurkan persatuan bangsa. Sedangkan, sisi baiknya kita dipersilakan mengutarakan pendapat bahkan meluncurkan kritikan terhadap laku dan kebijakan yang dibuat penguasa.

(Menerima kritik dan saran dari pembaca sekalian, silakan tulis di kolom komentar)


Selasa, 04 September 2018


Menyampah dengan Hormat

Saat diri sedang muak oleh tingkah polah masalah, bepergian adalah alternatif media penyembuhaannya. Tak butuh jauh-jauh jika diri ini ingin pergi, sekiranya sedikit bersetubuh dengan angin semua sudah membaik. Kadang menikmati jalanan macet atau pasar-pasar yang ricuh dan gaduh atau melihat sungai yang lugu dan jernih  sudah cukup. Tapi kini aku sulit menemui sungai yang jernih.  Sungguh sangat jarang, Selalu ada sampah berkemudi menunggangi air.



Sungai di Kedunglumbu, Pasar Kliwon yang penuh dengan sampah.

(Sumber foto: ics_infocegatansolo)


Penanganan sampah memang menjadi masalah yang tak kunjung usai hingga detik ini, kurangnya kesadaran masyarakat, serta kurangnya perhatian pemerintah menjadikan sungai sebagai  bahan pelampiasan. Tak hanya terjadi di kota-kota besar yang berdalih tiada ruang membuang, kini di desa-desa yang lebih membentang pun juga menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah.

Dari sampah rumah tangga hingga limbah pabrik pun banyak dialirkan ke sungai.  jika di desa-desa mungkin masih terbilang sedikit tapi di kota-kota besar sungai sudah menjadi aliran sampah bukan lagi aliran air yang jernih.  

Dampak yang ditimbulkan pun tidak tanggung-tanggung, tak hanya bau menyengat, yang paling fatal adalah dampak penyakit yang akan menyerang masyarakat yang tinggal di bantaran sungai ini seperti demam berdarah, diare dan lain-lain.  seperti dikutip dari laman www.kompasiana.com sampah yang menumpuk dapat menyebabkan berbagai penyakit seperti diare, disentri, kolera, tifus, hepatitis dan penyakit lainnya.

Akibat fatal lainnya adalah pencemaran air, air yang semula bersih dapat tercemar oleh zat-zat dan kotoran dari limbah plastik atau limbah pabrik yang menggunung di sungai. Jika musim kemarau tumpukan sampah akan menggenang dan menimbulkan bau tak sedap, sedangkan jika musim hujan tumpukan sampah akan menyumbat saluran air dan menyebabkan banjir.

Kesadaran masyarakat haruslah dipupuk pasalnya merekalah yang membuang sampah dan yang menikmati dampaknya.  Meski tidak semua masyarakat berlaku demikian tapi ini masalah yang butuh perhatian dari semua pihak. Masyarakat perlu di sadarkan perihal bahaya membuang sampah sembarangan. Upaya ini pun tak luput dari ulur tangan pemerintah, pemerintah harus sigap karena merekalah yang dapat mengeluarkan aturan. Selain aturan mereka juga harus membuat fasilitas pembuangan sampah yang memadahi sehingga tak ada alasan lagi untuk masyarakat membuang sampah di sungai. Pemerintah  tentu tak bekerja sendirian ia bisa menggandeng RT, RW, lurah atau camat.

Senin, 03 September 2018


Tiwas Geer

Di suatu pagi Lady Cempluk bersama kawannya, Genduk Nichole hendak membeli sayur ke warung sebelah indekosnya, sedangkan untuk nasinya mereka memasak sendiri pakai mejikom, maklum sebagai sarana pengiritan mereka harus pandai-pandai mengatur uang.

Sesaat setelah keluar dari pintu gerbang Lady Cempluk dan Genduk Nichole bertemu Bu Gembus pemilik indekos.

mak tratap !

“Nduk,” sapanya dengan halus.

Selalu ada getaran ketakutan manakala bertemu ibu indekos, takut kalau-kalau ada biaya-biaya gaib yang Bu Gembus ajukan untuk mereka seperti biasanya.

“Oh iya Bu ada apa ya?” jawab Cempluk dengan lirih.

“Begini saya mau tanya, itu yang dikamarmu itu dipannya ada satu apa dua ya? Kan kamu sekamar berdua to?” 

“Huft tak kira ada apa,” batin cempluk sebelum menjawab.

“Ada satu itu Bu, memangnya ada apa ya?”

“Anu, kalau ada satu mau tak kasih dipan lagi gitu loo, kasihan soalnya,”

Cempluk pun terdiam sejenak, ia tiba-tiba saja langsung merasa senang dan tersanjung atas perhatian Bu Gembus, karena sebagai anak indekos yang hidup terlunta-lunta ternyata masih ada yang peduli dengan nasibnya.

 “Wah beneran Bu? boleh-boleh hehe, tidur di bawah memang agak dingin og Bu, apalagi saya juga sering pulang malam, badan jadi pegel-pegel semua.”

“Bukan, bukan itu maksud saya, maksud saya itu kasihan kasurnya, nanti kalau cepat rusak,” sela Bu Gembus.

Cempluk pun sepichleces, tak bisa berkata apa-apa lagi.

Sementara itu Bu Gembus langsung pergi, dan Genduk Nichole menahan tawanya sambil menarik Cempluk.

“Pluk Pluk Makane ojo geer dadi wong.

Cempluk pun marah sampai berhari-hari.

Widy Hastuti Chasanah Jebres,  Surakarta.

(karena ketidaklucuannya tulisan ini gagal dimuat di suatu surat kabar ah ya daripada berlama-lama dalam kebimbangan  dan  kesedihan lebih baik saya posting di sini, biar tak mangkrak di sudut-sudut hardisk saya)
Tentu sangat tentu terbuka kritik dan saran



Sembilan Belas


(Sumber foto : Phinemo.com)

Chandra menyebutnya 19, tak tahu jelmaan angka ini melekat dalam tarik napas Chandra, pada rona 19 ia terheran-heran pada kerak-kerak laku  yang mulai sangsi ia pahami. Baik dalam nuraninya , orang di sekitarnya atau bahkan petikan-petikan peristiwa yang hilir mudik menjelma.

Dalam desir pasir pantai yang terkoyak ombak, atau suara gemericik yang menghantam kerasnya bebatuan yang kini jadi kandang ia merenung, ia menerawang semua laku kehidupannya. sejak 30 menit lalu ia menghadap surya yang paling beberapa jam lagi angslup meredup, kepongahan, kenestapaan, kepedihan, kebahagiaan, kecerobohan, kepanikan dan banyak hal bergemuruh di benak, tak kalah nyaring suaranya dari raja lautan. Tapi sungguh, ia sedang menjadi Chandra yang pendiam.

Bibirnya terkunci rapat-rapat, kau bisa lihat matanya begitu hangat dan setengah terpejam ,lalu jika ingatannya menembus palung tersakit atau paling memalukan ia menunduk, bergerimislah sore itu dari mata sendunya. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain menyaksikan dengan nanar.

Lalu jika sudah sedikit sembuh ia gali lagi ingatannya ia mendongkak dan mencium angin, menghadap lautan, kau bisa melihat sebagian rambutnya tergurai lemas dalam ikatan dan sebagian lagi,terutama pada haluan dahi,  rambut itu ikut bernapas, lucu, seperti hendak terbang tapi akar-akarnya menancap erat di kepala gadis 19 tahun yang merajuk pada entah. Lalu gerimis lagi.

Sudah lama benar  jiwanya tergeletak di bebatuan itu, aku yakin pasti begitu kedinginan ia, tapi kulihat Chandra semakin mesra menghadang senja yang ingin pulang.  Ia berdesir dan kerap kali bertanya “mengapa begini?” aku tak tahu, aku juga ingin bantu menjawab tapi jawabanku selalu ia tolak, ia tak pernah mau mendengar. Dasar si keras kepala itu.

Aku tahu Chandra lebih ingin memompa jawaban itu sendiri, agar keluar dari pipa pengap, aku tahu Chandra ingin membebaskan sesuatu yang membatu di hatinya. aku tahu sekalai lagi aku tahu maka itu aku meninggalkannya di lautan lepas. Di bebatuan tempat raganya tegak bersenandung menatap malam.  Benar ini sudah mulai malam.

Dan bergerimis lagi, matanya memang ampuh menurunkan hujan. kata angin, Chandra begitu murung, meski dalam ingatannya bergejolak memori yang riang. Dia mengucap pertanyaan yang sama.

Mungkin jika boleh kutafsirkan secara ngawur dan frontal , Chandra sedang mengidap luka yang dalam, tak tahu di sebelah mana tapi semua itu terhubung jelas dengan matanya. Aku pernah menatap bibirnya tersenyum tapi lihat matanya, siapa yang bisa menyangkal bahwa matanya berujar kepedihan yang tampak sakit tiada tara. Aku urung bertanya perihal apa karena menurutku ia belum berhasil menemui sosok yang seharusnya ada mendekapnya. Siapa lagi, siapa lagi jika bukan ayahnya. Riwayat ini begitu panjang dan tak ada niatku untuk mengulasnya.

Tapi angin berujar hal yang lebih gila padaku, angin melihat Chandra memukul kepalanya, ia begitu marah pada rindunya, rindu yang lebih menyiksa dari pada lupa atau sejenisnya, ia meniup roti dengan tanaman lilin dalam genggamannya dengan bercucur nestapa. Ia memejam sejenak namun begitu lama.

Ia ingin ada sosok yang memukulnya saat ia tumbuh dengan angkuh dan bodoh, atau paling tidak menamparnya ke dinding jika ia lemah dan kerap mengundang gerimis seperti ini. Ia lalu mengadu, bahwa dunia begitu konyol seperti ibu tiri, banyak manusia yang belum pernah tergambar dalam lingkup pikirnya, dan saat menjumpainya ia ketakutan, tak tahu kemana ia meluapkan kekesalan juga kengeriannya. Hanya ia padam dan ia tumpahkan pada angin atau bulan seperti namanya.

Lagi, jika bicara rindu, mungkin rindu Chandra dua kali lipat lebih luas dari laut ini, saban malam jika benar rindu benar ia diculik mimpi, dan jika seperti itu ia akan memohon pada malam, agar berbesar hati melambatkan surya yang begitu cepat ingin bersinar. Tak padam meski 19 tahun telah berlalu.

Namun meski nestapa hidupnya menderma sejadinya ia tetap bersyukur, lihatlah senyum kecilnya yang sedang ia pelukkan pada angin, ia berkabar bahwa ia telah dewasa ah bukan bukan dewasa, mmm bagaimana ya cara menyebutnya?, ah begini kupikir ia sedikit lebih terarah cara berpikirnya, dunia yang kerap membuatnya banting stir mampu membuatnya  sedikit tangguh, entahlah aku hanya sedikit suka dengannya. Kadang dia berbesar hati menceritakan duka atau sukanya padaku, namun tak kutanggapi dengan betul karena sejatinya ia hanya ingin mendorong kekesalannya keluar. Ia tak bisa kusebut dewasa karena dalam ranah-ranah tertentu ia kerap merengek dan aku cukup kesal ingin memukulnya. Tapi tak kuasa karena ia sangat sangat lihai memblokade niatku dengan celetuknya yang membuncah dengan tawa.

 Tujuh hari sebelum tahun barunya ia menderma kisahnya.